Mohon tunggu...
DeeDee Kartika Djoemadi
DeeDee Kartika Djoemadi Mohon Tunggu... -

Sociopreneur, Founder & Owner of PT Ciptadaya Resources, PT Imagia Insightama, PT Spindoctors Indonesia, Committee of Kadin Indonesia, Junior Chamber International (JCI) Indonesia, HIPMI, REI, LPPP and PP PERBASI.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Mengapa UU Migas No 22 Tahun 2001 Dianggap Pro Asing?

5 Desember 2012   00:40 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:11 3835
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Pada sidang yang terakhir, mantan Dirjen Migas yang bertindak sebagai saksi ahli Pemerintah mengatakan “Pemerintah tidak memberikan apapun kepada asing karena semua regulasi dikelola oleh pemerintah, yang diberikan hanya "economic-right" saja”.  Padahal "economic-right" itu justru yang paling berharga, kalau tidak ada "economic-right" maka menjadi tidak ada nilainya dan yang paling berharga itulah yang diserahkan ke pihak asing, sungguh merupakan interpretasi yang sangat berbahaya dari seseorang yang seharusnya menguasai substansi undang-undang sebagai wakil dari Pemerintah Indonesia. Contoh yang paling sederhana di sektor mineral banyak sekali dan juga berlaku di sektor Migas.

Banyak perusahaan-perusahaan tambang besar dunia, salah satunya BHP Billiton dari Australia memiliki tambang batubara di Kalimanatan Tengah yang kadar batubaranya sangat tinggi(cooking coal) untuk industri baja. Puluhan tahun konsesi mereka tidak bikin apa-apa karena mereka punya bisnis di tempat yang lain lebih menarik. Tetapi aset tersebut ada didalam portofolio Billiton, dan itu masuk didalam "contingency asset" mereka.

Dengan itu mereka bisa cari uang karena tambang tersebut sudah ada valuasinya, tambang tersebut sudah dieksplorasi tetapi tidak dikerjakan. Sudah ada nilainya, tinggal dikalikan saja berapa dollar per ton dan dimasukkan kedalam "contingency asset" untuk mencari pinjaman, dan kemudian hasil pinjamaan itu dipakai untuk investasi bisnis di luar Indonesia. Kasus-kasus seperti ini banyak sekali terjadi di sektor Migas.

Kemudian ada hal-hal lain yang cukup penting di Pasal 3 Undang-Undang Migas No 22 Tahun 2001, penyelenggaraan harus accountable dan diselenggarakan dengan mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat dan transparan.  Hal ini adalah cara dan mekanisme, padahal yang paling penting itu prinsip dan tujuan yang ada di Pasal 33 ayat (2), “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.” Prinsip dan tujuannya yang paling penting, tetapi kok didalam undang-undang itu mekanismenya malah yang lebih diutamakan. Di sinilah virus dari neoliberalisme itu masuk.

Kemudian menyangkut modus kerja sama, Indonesia menganut sistem Production Sharing Agreement. Sebetulnya PSA bukan satu-satunya modus, ada kerja sama operasi (Joint Operation), ada kepemilikan langsung (Ownership). Negara-negara yang berhasil di sektor migas terutama di negara-negara Arab dan Latin Amerika itu tidak memakai model PSA, tetapi memakai konsep kepemilikan langsung.  Seperti Aramco yang dikuasai oleh Pemerintah Saudi Arabia dalam bentuk kepemilikan saham mayoritas, sementara pihak asingnya minoritas. Sistem kepemilikan mayoritas ini jauh lebih efektif dibandingkan PSA karena cost-control nya bisa dilakukan secara internal, wakil dari pemerintah duduk didalam manajemen, ikut melakukan kontrol manajemen, ikut melakukan kontrol keuangan dan proses alih teknologi juga dapat berjalan dengan baik.

Jadi, PSA bukan satu-satunya opsi yang paling baik yang selama ini oleh pejabat kita selalu dibanggakan sebagai yang paling hebat, paling dahsyat, dan sebagainya, justru model PSA ini sangat rawan terhadap potensi mark-up biaya-biaya, hampir semua biaya yang cenderung tidak penting, seperti menyogok pejabat Indonesia dan biaya entertainment itu terkadang dimasukkan kedalam recovery cost.

Dan yang kedua adalah data mengenai produksi yang anjlok dari 1.300.000 barrel per hari menjadi hanya 850-an barrel per hari, tetapi recovery cost nya naik hampir dua kali lipat, sementara dari pihak yang seharusnya menjelaskan tidak pernah ada penjelasan yang transparan.

Sedangkan yang ketiga adalah budaya birokratis, semua mau dikontrol, semua mau diperiksa, tapi kultur kontrol di Indonesia sebagian besar identik dengan pemerasan. Semakin banyak kontrolnya, semakin banyak diperiksanya, semakin banyak yang harus diservis pejabatnya, sehingga jangan diartikan kontrol oleh negara itu hebat dan dahsyat karena cara kontrolnya ternyata tidak canggih, misalnya dalam mengawasi biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan minyak on-share vs off-share, sesungguhnya tinggal menghitung kedalaman sumur yang digali itu berapa, sederhana saja, tidak perlu sampai detail.

Sehingga tidak aneh jika pemerintah Indonesia sejak 8 tahun terakhir telah memberikan ratusan konsensi di sektor minyak bumi dan gas, tapi tingkat eksplorasi sangat rendah. Penemuan cadangan baru nyaris tidak ada.  Menurut info para investor asing maupun pengusaha migas dalam negeri, birokrasi kita ternyata sangat ruwet, iklim investasi migas di Indonesia tidak fleksibel karena terlalu banyak kontrol terhadap hal-hal yang tidak penting, seharusnya cost-controling dilakukan lebih cermat, bukan kontrol terhadap hal yang tidak substansial.

Kemudian ada Pasal 10 di Undang-Undang Migas No 22 Tahun 2001 yang berbunyi  “Badan usaha atau bentuk usaha tetap yang melakukan usaha hulu dilarang melakukan kegiatan usaha hilir.”  Pasal itu bagus, supaya tidak ada monopoli vertikal. Tetapi dalam prakteknya, Shell atau Beyond Petroleum misalnya, mudah sekali membuat perusahaan migas sektor hilir, walaupuncore business nya tetap di hulu.  Kalimat-kalimat di pasal itu, multi-interpretasi, sangat sumir. Dalam prakteknya, tetap terjadi integrasi vertikal.

Yang juga penting adalah pasal mengenai penyelesaian masalah antara pemerintah dengan kontraktor asing jika terjadi dispute melalui arbitrase internasional.  Menurut hasil penelitian Prof. Joseph Stiglitz, pemenang Nobel dunia, diperoleh data bahwa 99% dari hasil arbitrase internasional itu sangat merugikan negara negara berkembang dan selalu menguntungkan negara-negara maju, banyak hal yang menyebabkan itu terjadi, misalnya adanya lack of language, lack of knowledge, dan lain-lain. Oleh karena itu, pada tahun 2007, Stiglitz datang ke Jakarta, bertemu dengan Presiden SBY, meminta agar arbitrase internasional ini dihapuskan dari rencana Undang-Undang Investasi.  Apa yang terjadi? tetap saja klausul itu ada didalam undang-undang investasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun