Profesor Abdul Mu'ti, selaku Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah era Kabinet Merah Putih di bawah kepemimpinan Presiden Republik Indonesia ke-8, mengangkat wacana untuk memberlakukan wajib belajar 13 tahun. Cakupannya meliputi 3 tahun jenjang sekolah menengah atas, 3 tahun sekolah menengah pertama, 6 tahun sekolah dasar dan ditambah 1 tahun pendidikan anak usia dini. Skema ini sebenarnya pernah disinggung oleh Nadiem Makarim saat membahas Rancangan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) tahun 2022 silam.
Adanya wacana ini menunjukkan perkembangan positif atas adanya perhatian terkerucut untuk pentingnya pendidikan secara holistik bagi para generasi muda Indonesia. Prof. Abdul Mu'ti menegaskan bahwa Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) tidak berarti harus wajib ditempuh pada jenjang sekolah formal, seperti Taman Kanak-Kanak, namun juga bisa pada jenjang sekolah informal, seperti SPS (Satuan PAUD Sejenis).Â
Melalui tambahan wajib belajar selama minimal setahun untuk anak-anak usia dini, PAUD akan menyiapkan fondasi yang diperlukan untuk proses belajar ke depannya. Kenapa? Karena lingkungan PAUD akan mengambil peran penting yang memperkaya dan memenuhi kebutuhan anak-anak usia dini. Jean Piaget, seorang psikolog Swiss yang terkenal karena karya perintisnya dalam perkembangan anak dan teorinya tentang perkembangan kognitif, menyatakan bahwa lingkungan merupakan penyedia pengalaman utama yang bersifat aktif bagi anak. PAUD, sebagai lingkungan tambahan di luar keluarga, akan menjadi wahana eksplorasi individu yang menyenangkan.Â
Piaget juga membahas peran lingkungan terutama dengan berfokus pada bagaimana anak-anak berinteraksi dengan lingkungan sekitar untuk belajar dan berkembang secara kognitif. Konsep asimilasi dan akomodasinya menggambarkan bagaimana anak-anak mengintegrasikan informasi baru dari lingkungan mereka dan menyesuaikan pemahaman mereka yang sudah ada. Pada 1926, dalam buku karyanya yang berjudul "La reprsentation du monde chez l'enfant" (Representasi Dunia pada Anak ), Piaget meneliti bagaimana anak-anak memahami dan menafsirkan lingkungan di sekitar mereka, dengan mencatat bahwa anak-anak kecil memiliki cara yang unik dalam memahami realitas, yang secara bertahap menjadi lebih logis dan terstruktur seiring bertambahnya usia mereka. Sementara ahli lainnya, yang bernama Vygotsky, memandang lingkungan, terutama pengaruh sosial dan budaya, sebagai pusat pembentukan pemikiran dan pembelajaran anak, dengan fokus pada interaksi dengan orang lain yang lebih berpengetahuan. Berbasis pada ilmu-ilmu di atas, tak salah kiranya kita meyakini bahwa pendidikan anak usia akan membantu kita dalam menyediakan lingkungan yang kian kondusif bagi pendidikan yang kian baik bagi anak-anak.Â
Pembelajaran pada PAUD akan memperkenalkan konsep-konsep dasar dalam literasi dan numerasi. Semoga hal ini tidak menyebabkan salah kaprah tentang dilematik anak wajib belajar membaca dan menulis saat masih berusia 4-6 tahun. Bukan itu maksudnya. Yang dimaksud di sini adalah pengenalan dasar literasi dan numerasi di mana dalam PAUD diintegrasikan dengan gaya bermain anak, melalui lagu dan permainan yang seru. Anak-anak "membaca buku" melalui gerak lagu, gerak badan, ilustasi dan imaginasi pikiran.Â
Secara saintifik, paparan yang berlangsung pada periode awal ini akan membangun sambungan-sambungan saraf pada otak anak-anak dalam membuat koneksi antar konsep dan melatih ingatan. Ingat ya, melatih ingatan, bukan menghafal alfabet dan angka secara harfiah tanpa makna. Kegiatan bermain yang melibatkan konsep literasi dan numerasi akan membantu pertumbuhan koginitif yang akan membangun rasa cinta pada belajar.Â
Kita mengakui bahwa madrasah utama adalah ibu dan keluarga. Setelah anak-anak telah memenuhi kebutuhan dasar untuk belajar secara langsung dari orang tua dan lingkungan terdekatnya dalam keluarga, maka setelah usia 5-6 tahun, tiba saatnya dia mulai mengembangkan cakupan lingkungan bermainnya agar dapat bersosialisasi secara lebih terstruktur. Keberadaan dalam sebuah lingkungan baru melalui keterlibatan di PAUD, akan berkontribusi pada pengembangan keterampilan sosial dan emosional anak. Anak-anak akan berinteraksi dengan beragam karakter guru dan teman-teman, sehingga mereka akan mengembangkan kemampuan sosial untuk saling berbagi, empati, bekerjasama dan mengatur diri sendiri. Keterampilan-keterampilan sosial seperti ini bersifat sangat fundamental untuk interaksi-interaksi yang sukses di masa depan anak-anak. Â
Secara kebahasaan, anak-anak yang sempat mengenyam pendidikan, baik secara formal maupun informal, berkesempatan untuk memperluas keterampilan berkomunikasi secara lebih luwes. Melalui aktifitas-aktifitas yang seakan-akan terkadang terlihat sederhana namun bermakna, anak-anak bisa mengekspresikan perasaan dan pemikiran mereka, bertanya hal-hal yang mereka ingin tahu dan berusaha mencari tahu, serta terlibat dalam percakapan yang lebih intens. Hal ini akan menyokong tabungan kekayaan kosakata, daya paham, dan kemahiran mengartikulasikan ide-ide baru.Â
Selain itu, umumnya kurikulum PAUD akan mencakup kegiatan-kegiatan seperti menggambar, menggunting, menempel, berlari, meloncat, atau melakukan permainan ayunan, jungkat-jungkit, perosotan di area bermain. Kegiatan-kegiatan yang melibatkan fisik ini akan memperkokoh perkembangan fisik motorik kasar dan halus yang dibutuhkan untuk pertumbuhan fisik optimal seorang anak. Secara langsung dan tidak langsung, aktifitas-aktifitas fisik ini esensial untuk keterampilan belajar yang dibutuhkan pada jenjang berikutnya, seperti keterampilan koordinasi, kesehatan fisik,dan keterampilan memegang alat-alat tulis. Â
Rutinitas belajar yang dibiasakan pada lingkungan belajar PAUD juga melatih keterampilan mengatur waktu dan tingkat kemandirian anak-anak. Mereka berada dalam tahap mengubah tingkah laku tadinya berpusat pada diri sendiri (self-centered) dari usia balita menjadi tingkah laku yang lebih toleran dalam memahami koneksi sebab akibat dari perbuatan mereka. Mereka menggali keterampilan individu dalam mengikuti instruksi yang berasal bukan dari keluarga inti mereka, bagaimana mengikuti rutinitas, dan menyelesaikan tugas-tugas sederhana secara mandiri. Jika di rumah, mereka bisa jadi dikelilingi orang-orang yang memahami kebutuhan mereka, misalnya sebelum haus, ibu telah menyodorkan minum; maka di PAUD mereka belajar untuk membawa botol minum sendiri dan meletakkannya di tempat yang telah ditentukan, serta belajar memahami kebutuhan diri sendiri kapan saatnya minum. Hal ini akan menciptakan rasa tanggung jawab dan struktur permulaan yang menyiapkan mereka atas rutinitas kian kompleks yang akan terjadi di jenjang sekolah dasar dan seterusnya.Â
Meskipun anak-anak tentu bisa mengembangkan rasa kreatifitas dan keingintahuannya di rumah, bahkan terutama jika belajar secara homeschooling, namun jika belajar di PAUD, kurikulumnya cenderung akan menekankan kreatifitas melalui pembelajaran dan eksploasi berbasis bermain (play-based learning). Aktifitas-aktifitas seni, bercerita, mendengarkan dongeng, menyiram tanaman, berkunjung ke tempat-tempat belajar lain ataupun aktifitas proyek lainnya yang membutuhkan keterlibatan fisik dan mental secara langsung akan memperkukuh kemampuan berkreasi dan memperkuat rasa ingin tahu alamiah atas bagaimana dunia ini bekerja. Â