Mohon tunggu...
Kartika Desy Wardani
Kartika Desy Wardani Mohon Tunggu... Guru - Pendidik

Seorang pembelajar sepanjang hayat yang telah berkecimpung di dunia pendidikan selama dua dekade.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

PMM sebagai Akademi Intelektual: Belajar dari Pembekalan Kabinet Merah Putih di Akademi Militer

25 Oktober 2024   10:05 Diperbarui: 25 Oktober 2024   10:27 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pada hari Kamis, 24 Oktober 2024, para menteri di bawah kepemimpinan Presiden ke-8 Republik Indonesia mulai berdatangan ke Akademi Militer (Akmil), Magelang, untuk digembleng agar memiliki dasar pemikiran yang sepaham. Saya setuju dengan konsep tersebut. Saya yakin ini merupakan bentuk upaya 'pendidikan' di tingkat elit, sebagai proses berkelanjutan untuk meningkatkan keterampilan, pengetahuan, dan keahlian seseorang agar bisa terus berkembang dan maju dalam bidang profesional. Hal ini sejalan dengan pemikiran Kofi Annan yang mengatakan bahwa "Pengetahuan adalah kekuatan. Informasi adalah pembebasan. Pendidikan adalah dasar kemajuan, di setiap masyarakat, di setiap keluarga." 

Pengetahuan sebagai kekuatan memiliki makna memberikan individu kemampuan untuk membuat keputusan yang tepat, memecahkan masalah, dan memengaruhi hasil. Adapun informasi itu membebaskan berarti akses ke informasi yang akurat membantu orang terbebas dari ketidaktahuan dan penindasan, memberi mereka kebebasan untuk berpikir dan bertindak secara mandiri. Dan pendidikan adalah dasar kemajuan, merujuk bahwa pendidikan adalah fondasi untuk pertumbuhan dan perbaikan, baik bagi individu maupun masyarakat. Pendidikan memungkinkan orang untuk maju dalam berbagai bidang kehidupan, yang mengarah pada kemajuan dalam keluarga, masyarakat, dan dunia. 

Singkatnya, Kofi Annan, yang pernah menjabat sebagai Sekretaris Jenderal PBB dari tahun 1997 hingga 2006, menekankan bahwa pendidikan dan akses ke pengetahuan sangat penting untuk pemberdayaan individu dan pembangunan masyarakat. 

Presiden Prabowo Subianto menunjukkan kualitasnya sebagai pemimpin untuk memastikan para pembantu intelektualnya ini mendapatkan pengalaman setara untuk menyamakan visi. Tanpa kesamaan visi, kabinet Merah Putih mungkin kesulitan mencapai 17 program prioritas dan delapan program hasil terbaik cepat yang dijanjikan Pak Prabowo sejak masa kampanye . Misi yang tidak selaras dapat menyebabkan pengambilan keputusan yang buruk, kurangnya fokus, dan akhirnya, kegagalan mencapai hasil yang diinginkan. Melalui aktivitas pembekalan ini diharapkan seluruh menteri pilihan beliau mampu berkontribusi dalam mendukung visi agar tercipta kemajuan pada masyarakat Indonesia. 

Yang menarik bagi saya untuk dibahas adalah salah satu program unggulan Pak Prabowo terkait penguatan pendidikan, sains, dan teknologi, serta digitalisasi. Penggunaan kata "penguatan" ini cukup menggelitik bagi saya karena berarti Pak Prabowo mengakui bahwa program pendidikan yang diusung Presiden ke-7, Joko Widodo, melalui awak nahkodanya yang bernama Nadiem Makarim, cukup kuat; cukup berhasil; notabene cukup baik. 

Hal ini bagi saya tampak gamang di tengah adanya tanggapan negatif atas keberadaan Platform Merdeka Mengajar (PMM) yang dicanangkan Kemendikbudristek mulai 11 Februari 2022. PMM ini sebenarnya sebuah gebrakan besar yang merupakan wujud keterbukaan akses atas ilmu pengetahuan aspek-aspek pendidikan Indonesia.

Melalui PMM, pemerintah melakukan pelatihan yang berlangsung secara masif, berbasis teknologi dan murah, dalam arti tanpa perlu adanya biaya akomodasi pengumpulan para guru pada suatu tempat yang biasanya memakan banyak budget, seperti penyediaan lokasi, transportasi, maupun makanan. Sebagai bentuk pelatihan modern di abad 21, PMM memberikan ruang dan waktu untuk para guru di seluruh Indonesia menyamakan persepsi dan referensi untuk dapat  menerapkan Kurikulum Merdeka dengan mengandalkan gawai yang terkoneksi internet. 

Sistem belajar model digital seperti ini juga sebenarnya telah diterapkan di dunia pendidikan internasional, misalnya oleh International Baccalaureate yang menyediakan pengembangan diri guru profesional melalui situs resminya. Melalui pembelajaran interaktif, yang diupayakan bisa bersifat dua arah, guru bisa belajar langsung kepada sumber utama. Namun yang membedakan implementasinya di Indonesia adalah saat PMM dijadikan sebagai sumber belajar yang bersifat wajib bagi setiap guru. Sekolah-sekolah melalui Kepala Sekolahnya seakan-akan diabsen untuk menentukan peringkat sekolah mana yang paling aktif. Sekolah diberi label berdasarkan warna. Warna hijau untuk sekolah dengan partifipasi guru-gurunya sangat aktif di PMM dan memiliki banyak sertifikat penyelesaian modul di PMM. Warna kuning untuk partisipasi tingkat sedang. Dan warna merah untuk partisipasi tingkat rendah. Tekanan kepada kepala sekolah dan adanya ancaman pelabelan sebagai sekolah yang 'tidak aktif' dan 'tidak mau belajar hal baru' menyebabkan para kepala sekolah mendesak para guru untuk bersegera menyelesaikan modul-modul yang ada di PMM. 

Dampaknya? Para guru bergegas mengerjakan PMM pada jam mengajar dan jam non-mengajar yang seharusnya diisi dengan proses persiapan mengajar. Hasilnya? Guru-guru harus belajar mengajar pada saat dia harus mengajar. Sebuah ironi yang menjadi siklus mengerikan saat siswa harus beradaptasi belajar mandiri karena para gurunya sedang belajar mandiri. Ragam kritik atas dampak negatif ini dilancarkan kepada kementerian. Dan muncul pernyataan oleh kementerian pada platform tersebut bahwa pengerjaan "PMM" tidak wajib. Namun, pada kenyataanya, kebijakan pada pucuk kepemimpinan yang digawangi Nadiem, tidak digemakan selaras hingga tingkat dinas pendidikan provinsi, kabupaten/kotamadya hingga kecamatan. Bahkan tekanan kepada guru ini masih berlangsung beberapa hari sebelum upacara serah terima tampuk kepemimpinan Pak Nadiem kepada penggantinya. 

Kita mengapresiasi adanya upaya keterbukaan akses atas pelatihan bagi guru dengan memanfaatkan teknologi. Namun adanya kultur kebanggaan bahwa daerahnya  berperingkat 'paling tinggi' dalam pemanfaatan PMM telah menodai filosofi menakjubkan yang diupayakan pemerintah untuk menjamin peningkatan kualitas guru dalam belajar. Yang menjadi korban justru para siswa yang terpaksa melihat para gurunya berjibaku dengan komputer dan mengejar sertifikat. 

Sebenarnya Kurikulum Merdeka berusaha memerdekakan guru dengan pengurangan beban administrasi dan guru lebih merdeka dalam menentukan arah pembelajaran sesuai kebutuhan siswa per sekolah. Namun sayangnya, kemerdekaan itu direnggut oleh kendala teknis yang berasal dari platform itu sendiri. Lebih ironis lagi, muncul jual-beli di dunia maya pengerjaan PMM oleh joki dan ketersediaan sertifikat PMM. Lalu di mana esensinya? Materi-materi yang tersedia sebenarnya berkualitas, namun pelatihan ini menjadi semu dan hanya sebagai penyelesaian beban administrasi belajar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun