Seperti biasa, tiap kali bel istirahat berbunyi satu-satunya tempat yang ingin kukunjungi hanyalah perpustakaan. Belum sempat aku duduk, aku melihat secarik kertas yang terlipat rapi, lalu aku mengambilnya dan membacanya. Dari Rayen.
Setelah membaca suratnya, niatku membaca langsung urung, aku segera pergi mencari Rayen untuk menanyakan maksud dari suratnya. Aku pergi ke ruang osis karna kupikir ia ada di sana. Aku membuka pintu ruangan itu tanpa permisi, ternyata sedang ada rapat. Semua mata tertuju kearahku, dan well inilah saat-saat yang paling kubenci.
Namun entah kenapa aku bisa saja mengabaikan ini semua, mataku hanya mencari mata Rayen yang juga sedang menatapku. "Bisa bicara sebentar?" Kataku sambil menunjukan suratnya."Kita bicara di luar". Sahut Rayen. Aku mengikutinya.
"Ini maksudnya apaan?" kataku sekali lagi menunjukan suratnya. Sesaat ia berpaling, kemudian kembali menatapku.
Ia menyeringai, "Ternyata surat aku dibaca juga. Aku pikir kamu itu orang yang sibuk loh, atau...sok sibuk." Ia mencondongkan wajahnya lebih dekat padaku, aku tak tahu mengapa tiba-tiba perasaanku menjadi lebih kacau. Berada dalam jarak dekat dengannya membuat pertahanan diriku luntur "Aku benarkan?" katanya.
"Kamu itu apa-apan sih? Marah, karna saya nggak mau diwawancara?" aku merasakan suara ku meninggi.
"Wawancara? Ngapain aku wawancara sama orang yang sombongnya selangit kayak kamu. Aku nggak tahu yah, kenapa si Kelvin selalu ngebangga-banggain kamu." Kemudian ia berbalik meninggalkanku.
Aku tersentak ketika kudengar nama itu. Kelvin, seperti pernah kudengar namanya, seperti aku punya kenangan dengan nama itu. Aku tak ingat—sejak kematian kedua orang tuaku aku berusaha menutup diri dan seringkali merasa kesepian. Saat itu aku sadar bahwa tidak ada yang benar-benar tulus padaku, mereka dekat denganku hanya karna uang. Aku berusaha untuk melupakan semuanya, semua kenangan yang tak ingin ku ingat dan aku hanya perlu mengingat hal-hal yang perlu ku ingat. Aku berhasil, sejauh ini aku tak lagi mengingat kisah lamaku.
Aku menyelonong masuk kamar Rafa, ia sedang membereskan bukunya. Tanpa melihat ia sudah tahu bahwa yang datang adalah aku. “Kalau masuk ketok pintu dulu ya…” Aku duduk di ujung tempat tidurnya, kemudian ia datang menghampiriku. “Kenapa lagi?” ia selalu tahu tiap kali aku sedang ada problem, karna itulah aku sangat yakin bahwa dialah satu-satunya tempat konsultasi terbaik bagiku, selain karna hanya dialah satu-satunya keluargaku.
“Kak, aku punya temen yang aku pikir mirip sama seseorang. Kamu tahu kan, aku udah ngelupain semuanya.” Ia mengangguk, seperti ada hal yang sedang ia pikirkan. “Kamu tahu tentang Kelvin? Tadi pagi dia nyebutin nama itu. Dan…kayaknya nggak asing deh di telinga aku.”
Rafa beranjak dari tempat tuidur, ia berjalan kearah lemari dan membukanya. Kemudian ia kembali padaku dengan membawa sebuah kotak coklat. Ia menyerahkannya padaku, “Ini…apa?” Tanyaku bingung.
“Beberapa minggu yang lalu ad cowok, cakep, yah... meskipun aku jauh lebih cakep. Dia bilang dia kenalannya Kelvin. Tadinya mau aku langsung kasih kekamu, cuma…aku ingat kamu pernah bilang udah lupain semuanya. Aku nggak mau ngacauin ingatan kamu.” Rafa menjelaskan.
Laki-laki yang mengantarkan kotak surat punya Kelvin adalah Rayen yang ternyata adalah sahabat dekatnya. Semua surat telah kubaca, kini aku tahu dan mengerti, dia kembali untuk menemuiku. Orang yang pernah kucintai, yang dulu pernah ada di hatiku datang bersama sahabatnya dan membawaku kemasa lalu. Akhirnya aku menangis juga, aku telah kehilangan sesuatu yang seharusnya tidak aku lupakan.
Aku yang meninggalkan Kelvin dengan alasan tidak percaya pada siapapun didunia ini. Walaupun aku tahu bahwa saat itu ia sedang sekarat. Dan saat kehidupanya berakhir, ia mendonorkan matanya kepada Rayen yang dulunya buta.
Dan terjawablah sudah mimpi yang menyadarkanku betapa aku tak boleh menghakimi diriku sendiri hanya karena perasaan pribadiku. Dan aku mengerti bahwa melupakan bukanlah cara terbaik untuk beradaptasi dengan dunia.
“Hai.” Sapaku pada Rayen. Bukanya menjawab sapaanku Rayen justru bersikap bingung. “Ha-hai?” ia mencoba tersenyum. Sudah beberapa menit aku hanya menatap matanya, dan itu ternyata membuatnya merasa gugup dan malu.
Kami berdua duduk di depan kelas, Rayen yang gugup mencoba memegang pergelangan tanganku. “Seseorang berkata padaku, Lihat matanya maka kamu akan mengenalinya…pahami perasaannya maka kamu akan mencintainya.” Katanya sambil menatapku.
“Lalu?” Tanyaku.
“Lalu…” Ia mulai bingung untuk melanjutkan. Aku tersenyum dan membuatnya bertanya, “Kok senyum?”
“Lalu apa? Kamu udah liat matanya? Atau…sudah memahami perasaanya kah?” aku terdiam sejenak karna ragu untuk pertanyaan selanjutnya, “Sudah mencintainya? Sudah berapa lama?”
Kini balik Rayen yang tersenyum, sebelah tangnnya memegang wajahku. Jantungku berdebar seperti genderang yang siap untuk berperang, apalagi saat aku melihat mata itu. “Kamu kalo gugup lucu juga.” Sambil mencubit pipiku.
“Hmm...” ia mengakui.
Saat pertama aku liat matanya, aku mulai mengerti perasaanya, namun aku tak tahu apa aku bisa mencintainya seperti cinta yang pernah kuberikan pada Kelvin, tapi aku berjanji bahwa aku akan mencobanya.
Dia memang bukanlah dia yang dulu pernah ada. Aku tak melihat dirinya seperti dia yang pernah kukenal. Tetapi dialah yang mengantarku kembali ke masalalu. Dan dia datang dengan membawa pesan cintanya dari si dia untuk mencintaiku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H