Mohon tunggu...
Kartika Tjandradipura
Kartika Tjandradipura Mohon Tunggu... Wiraswasta - Co-Founder Writing for Healing Community

Penulis dengan tujuan utama yaitu untuk meningkatkan mental health awareness dan self compassion. Untuk mengenal tulisannya lebih jauh, bisa dilihat di akun Instagram : @kartika_olive

Selanjutnya

Tutup

Parenting Artikel Utama

Ajari Anak Self-Love, Bukan Selfish

28 Januari 2025   10:42 Diperbarui: 28 Januari 2025   11:40 302
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi | Freepik

Pernah tidak Anda mendengar anak kecil dengan percaya diri berkata, "Aku suka diriku!"? Sepintas terdengar lucu dan menggemaskan, tetapi di balik itu, ada sesuatu yang seharusnya kita renungkan. Anak-anak, dengan segala kepolosannya, sebenarnya adalah cerminan dari lingkungan tempat mereka tumbuh. Jika mereka bisa menyayangi diri sendiri, besar kemungkinan ada peran orang tua yang memahami pentingnya konsep self-love. Namun, apakah kita mengajarkannya dengan cara yang benar?

Self-love sering kali menjadi jargon populer di media sosial. Dari kalimat manis seperti "love yourself first" hingga seruan tegas, "jangan pedulikan omongan orang!" Tetapi ketika konsep ini diterapkan pada anak-anak, persoalannya menjadi lebih kompleks. Bagaimana caranya menumbuhkan rasa percaya diri pada mereka tanpa membuat mereka tumbuh menjadi pribadi yang manja, lemah, dan mudah menyerah?

Self-Love: Dimulai dari Rumah

Anak-anak adalah spons. Mereka menyerap apa saja yang ada di sekitar mereka, kata-kata, sikap, hingga nada suara. Jika orang tua sering mengatakan, "Kamu tidak bisa!" atau "Lihat tuh, si A lebih pintar dari kamu," jangan heran jika anak tumbuh dengan rasa minder yang mengakar. Sebaliknya, pujian yang berlebihan seperti, "Kamu yang terbaik!" tanpa diimbangi kritik membangun bisa membuat mereka merasa dunia selalu berpihak pada mereka.

Self-love tidak dimulai dari poster motivasi di kamar atau afirmasi berlebihan, tetapi dari lingkungan keluarga yang sehat. Anak harus diajarkan bahwa mencintai diri sendiri bukan berarti memanjakan diri, melainkan menerima kelebihan dan kekurangan dengan lapang dada.

Misalnya, saat anak mendapatkan nilai buruk, alih-alih langsung memarahi atau mencari kambing hitam, tanyakan, "Menurut kamu, apa yang bisa kita perbaiki bersama?" Dengan begitu, anak belajar bahwa kesalahan bukan akhir dunia, melainkan kesempatan untuk tumbuh.

Self-Love Tanpa Melupakan Tanggung Jawab

Namun, mari kita bahas bagian yang sering diabaikan: batasan antara self-love dan tanggung jawab. Mengajarkan anak untuk mencintai diri sendiri bukan berarti membiarkan mereka tumbuh menjadi pribadi yang selalu mencari alasan untuk menyerah. Dunia tidak peduli seberapa lembut perasaan kita; dunia meminta kita tangguh.

Jika anak terlalu sering diberi perlakuan istimewa atas nama self-love, mereka akan tumbuh menjadi pribadi yang mudah kecewa ketika hidup tidak berjalan sesuai keinginan. Sebagai contoh, ketika anak protes karena tugas sekolah terlalu sulit, jangan langsung berkata, "Tidak apa-apa, Nak, biarkan saja." Sebaliknya, beri mereka dorongan untuk mencoba lagi, bahkan jika mereka gagal. Katakan, "Kesalahan itu biasa, yang penting kamu sudah berusaha."

Mengajarkan tanggung jawab adalah bagian penting dari self-love. Anak yang mencintai dirinya sendiri tahu kapan harus beristirahat, tetapi mereka juga tahu kapan harus bekerja keras untuk mencapai sesuatu. Ini tentang keseimbangan, bukan permisivitas.

Dunia Bukan Tempat Bermain yang Selalu Menyenangkan

Dalam hidup, anak-anak akan menghadapi tantangan yang tidak selalu bisa dihindari. Jika kita hanya mengajarkan mereka untuk mencintai diri sendiri tanpa memberikan mereka alat untuk bertahan, mereka akan tumbuh dengan ilusi bahwa dunia akan selalu memperlakukan mereka dengan baik.

Ajarkan anak untuk menghadapi konflik dengan keberanian. Ketika mereka merasa kecewa atau gagal, beri mereka ruang untuk merasakannya, tetapi jangan biarkan mereka terjebak di sana. Misalnya, jika anak kalah dalam pertandingan olahraga, akui perasaannya: "Ibu tahu kamu kecewa." Namun, jangan lupa tambahkan pesan yang memotivasi: "Tapi coba lihat, kamu sudah bekerja keras. Kekalahan ini bukan akhir segalanya."

Mengapa Ini Penting?

Menurut psikolog Carol Dweck, anak-anak yang diajarkan untuk memiliki pola pikir berkembang (growth mindset) cenderung lebih tangguh menghadapi tantangan. Mereka tidak takut gagal karena mereka tahu bahwa kegagalan adalah bagian dari proses belajar. Inilah inti dari self-love: mencintai diri sendiri bukan hanya menerima diri apa adanya, tetapi juga berusaha menjadi versi terbaik dari diri kita.

Apa Warisan Kita untuk Anak?

Pertanyaan terbesar adalah: apa yang ingin kita wariskan kepada anak-anak kita? Jika kita hanya mengajarkan mereka untuk mencintai diri sendiri tanpa menanamkan nilai-nilai tanggung jawab, kita tidak sedang membentuk generasi yang percaya diri. Sebaliknya, kita sedang membentuk generasi yang rapuh.

Self-love adalah fondasi, tetapi tanggung jawab adalah bangunannya. Keduanya harus berjalan beriringan. Anak yang mencintai dirinya sendiri akan tahu kapan harus berkata "cukup" ketika merasa lelah, tetapi mereka juga akan tahu bahwa perjuangan adalah bagian dari kehidupan.

"Cinta pada diri sendiri adalah awal dari semua hal baik, tetapi cinta sejati tidak pernah datang tanpa usaha."

Jangan hanya ajari anak untuk mencintai diri mereka apa adanya, tetapi bantu mereka tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik setiap harinya. Karena dunia, seperti kita tahu, tidak akan selalu memaafkan mereka, tetapi mereka bisa belajar untuk memaafkan diri sendiri.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun