Jika Generasi Baby Boomer tumbuh dengan radio dan TV hitam-putih, Generasi Z dan Alpha lahir di tengah tablet, smartphone, dan algoritma media sosial yang tahu lebih banyak tentang mereka daripada orang tua mereka sendiri. Teknologi bukan lagi pelengkap hidup, melainkan oksigen, tidak bisa hidup tanpanya. Tapi, apa yang terjadi pada tatanan sosial kita saat teknologi mulai mendikte setiap aspek kehidupan?
Bayangkan, seorang anak berusia lima tahun menangis di mal karena tidak diberikan waktu tambahan bermain di aplikasi gim favoritnya. Siapa yang bersalah? Anak itu, orang tuanya, atau algoritma yang dirancang untuk membuat gim lebih candu daripada permen? Revolusi teknologi ini melahirkan generasi yang terhubung secara global, tetapi sering kali terisolasi secara emosional.
Saat Dunia Nyata Berpindah ke Layar
Dunia nyata bagi Generasi Z dan Alpha bukanlah taman bermain atau lapangan sepak bola, melainkan layar berukuran 6 hingga 10 inci. Dari sekolah daring hingga media sosial, interaksi mereka lebih sering terjadi dalam bentuk pixel daripada tatap muka.
Sebagai contoh, survei oleh Common Sense Media mengungkapkan bahwa rata-rata remaja di Amerika menghabiskan sekitar 7,5 jam per hari di depan layar, tidak termasuk waktu untuk belajar daring. Di Indonesia, angkanya mungkin tidak jauh berbeda. Ini adalah generasi yang lebih paham tentang tren TikTok terbaru daripada sejarah perjuangan bangsa. Ironis? Sangat.
Namun, kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan teknologi. Pandemi COVID-19 telah mempercepat adopsi teknologi secara masif. Sekolah, pekerjaan, bahkan acara keluarga kini dilakukan secara virtual. Masalahnya, interaksi digital ini sering kali tidak mampu menggantikan keintiman interaksi langsung.
Teknologi dan Privasi: Sebuah Paradoks
Bicara tentang teknologi di era Gen Z dan Alpha, tidak lengkap tanpa membahas privasi, atau lebih tepatnya, ketiadaan privasi. Generasi ini hidup di era di mana data pribadi adalah komoditas paling berharga.
Bayangkan seorang remaja yang dengan santainya membagikan lokasi, minat, bahkan kebiasaan tidur mereka melalui media sosial. Mereka mungkin berpikir ini hal biasa, tetapi di balik layar, data ini dimanfaatkan oleh perusahaan teknologi untuk menargetkan iklan, membangun profil psikologis, atau bahkan memengaruhi preferensi politik.
Privasi telah menjadi barang langka. Dan yang lebih mengkhawatirkan, banyak dari mereka yang bahkan tidak menyadari apa yang telah hilang.