Apa Dampaknya?
Overinformation tidak hanya membuat kita lelah, tetapi juga kehilangan kemampuan untuk berpikir kritis. Kita menjadi sekadar konsumen data, bukan pencari makna. Ketika informasi datang bertubi-tubi, kita tidak lagi punya waktu untuk merenung. Akibatnya, kita mengambil keputusan berdasarkan kesan pertama, bukan analisis mendalam.
Lebih jauh lagi, era overinformation ini menciptakan paradoks: semakin banyak informasi yang kita miliki, semakin sulit kita merasa puas.Â
Sebagai analogi, bayangkan Anda berada di restoran dengan menu 200 halaman. Apa yang terjadi? Anda mungkin menghabiskan lebih banyak waktu memilih menu daripada menikmati makanan itu sendiri.
Bagaimana Kita Bisa Bertahan?
Pertama, kita harus belajar menyaring informasi, bukan menelan semuanya mentah-mentah. Jadilah "pemulung data" yang cerdas: ambil yang bernutrisi, buang yang beracun. Tanyakan pada diri sendiri, "Apakah informasi ini relevan? Apakah sumbernya dapat dipercaya?"
Kedua, mulailah mempraktikkan "diet digital." Kurangi waktu menatap layar dan tingkatkan waktu untuk membaca, merenung, atau sekadar berbicara dengan orang-orang di sekitar kita. Kadang, dunia nyata jauh lebih menarik daripada dunia maya.
Ketiga, kembalilah pada prinsip dasar jurnalistik: 5W1H. Apa yang terjadi? Siapa yang terlibat? Di mana? Kapan? Mengapa? Bagaimana? Jika informasi yang Anda dapatkan tidak bisa menjawab pertanyaan ini, besar kemungkinan itu tidak layak dipercaya.
Era overinformation ini memang tidak bisa kita hindari, tetapi kita bisa memilih bagaimana cara menghadapinya. Jangan biarkan derasnya informasi menenggelamkan kita.Â
Ingat, mengetahui segalanya tidak berarti memahami segalanya. Dalam dunia yang penuh kebisingan, keheningan adalah kemewahan, dan dalam arus data tanpa akhir, kebijaksanaan adalah mercusuar.
Karena itu, mari berhenti sejenak dan bertanya pada diri sendiri: Apakah semua informasi ini benar-benar membuat hidup saya lebih baik, atau hanya lebih sibuk?