Mohon tunggu...
Kartika Tjandradipura
Kartika Tjandradipura Mohon Tunggu... Wiraswasta - Co-Founder Writing for Healing Community

Penulis dengan tujuan utama yaitu untuk meningkatkan mental health awareness dan self compassion. Untuk mengenal tulisannya lebih jauh, bisa dilihat di akun Instagram : @kartika_olive

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Overdosis Informasi: Tahu Segalanya, tapi Tidak Memahami Apa-apa

17 Januari 2025   12:30 Diperbarui: 17 Januari 2025   12:30 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (sumber: ltp.nl/niews)

Pernahkah Anda merasa seperti sedang tenggelam dalam lautan informasi, tetapi tetap haus akan makna? Itulah ironi zaman kita: informasi melimpah ruah, tetapi pemahaman mendalam menjadi barang langka. 

Di era digital ini, kita hidup di bawah hujan deras data yang tak pernah reda, dari notifikasi WhatsApp, Thread, hingga Twitter yang tak kunjung habis. Saking banyaknya informasi, terkadang kita tidak tahu harus percaya pada apa, membaca yang mana, atau, lebih penting, mengapa kita harus peduli.

Sebentar, mari kita berhenti sejenak dan bertanya: Apa sebenarnya yang sedang terjadi?

Hidup di Era Overinformation

Era ini adalah era di mana semua orang menjadi "pakar" dalam segala hal, dari politik hingga pandemi, dari resep masakan hingga teori konspirasi. Informasi begitu mudah diakses, hanya dengan satu klik, tetapi akses ini sering kali lebih membingungkan daripada mencerahkan. 

Misalnya, Anda hanya ingin tahu apakah kopi baik untuk kesehatan. Apa yang Anda dapatkan? Puluhan artikel yang bertentangan: kopi itu obat, kopi itu racun, kopi itu gaya hidup. Jadi, mana yang benar? Tidak ada yang tahu, termasuk mungkin si penulis artikel.

Ironisnya, overinformation ini membuat kita lebih rentan terhadap misinformasi. Dalam lautan data, berita palsu berselancar dengan mulus, menyusup ke timeline kita seperti tamu tak diundang di pesta pernikahan. Tak jarang, kita malah lebih percaya pada sesuatu yang viral, meskipun kebenarannya diragukan. Kita menganggap jumlah "likes" sebagai validasi kebenaran, padahal itu hanya indikator popularitas.

Mengapa Ini Terjadi?

Pertama, teknologi telah menciptakan dunia tanpa batas. Dulu, informasi datang dari buku, surat kabar, atau televisi. Sekarang, internet membuka keran yang tak pernah bisa dimatikan. Kedua, algoritma media sosial memanjakan kita dengan "filter bubble"---sebuah ekosistem di mana kita hanya disodori informasi yang ingin kita lihat, bukan yang perlu kita ketahui.

Ketiga, ada sisi manusiawi kita yang ikut bermain: ketakutan akan ketinggalan (fear of missing out). Kita selalu ingin tahu yang terbaru, tercepat, dan terbanyak. Namun, dalam perlombaan ini, kita sering kali lupa untuk berhenti dan berpikir.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun