Mohon tunggu...
Kartika Tjandradipura
Kartika Tjandradipura Mohon Tunggu... Wiraswasta - Co-Founder Writing for Healing Community

Penulis dengan tujuan utama yaitu untuk meningkatkan mental health awareness dan self compassion. Untuk mengenal tulisannya lebih jauh, bisa dilihat di akun Instagram : @kartika_olive

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Ketika Tukang Sayur Jadi Influencer: Digitalisasi di Tengah Disrupsi

15 Januari 2025   08:15 Diperbarui: 15 Januari 2025   13:12 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seiring lonceng 2025 berdentang, dunia kita berubah lebih cepat dari rotasi bumi. Transformasi digital bukan sekadar tren teknologi, melainkan solusi konkret menghadapi disrupsi ekonomi. Namun, apakah benar kita sudah memanfaatkan potensi ini sepenuhnya? Atau justru masih bingung mengunduh aplikasi e-wallet tanpa pin?

Dalam keseharian, teknologi merambah segala aspek. Dari belanja hemat hingga peluang kerja daring, semuanya kini bergantung pada layar kaca. Namun, seperti yang sering terjadi, keberhasilan atau kegagalan adopsi digital ini tergantung pada bagaimana kita menyikapinya.

Tantangan Ekonomi dan Peran Teknologi 

Mengapa transformasi digital penting di tengah disrupsi ekonomi? 

Jawabannya ada di tiga huruf: GDP. Data menunjukkan bahwa negara dengan tingkat digitalisasi tinggi memiliki pertumbuhan ekonomi yang lebih stabil. Lalu, bagaimana ini relevan untuk kita?

Apa yang terjadi? 

Pandemi telah memaksa banyak sektor tutup, dari toko kecil hingga perusahaan besar. Namun, yang tetap bertahan adalah mereka yang mampu beradaptasi secara digital. Lihat saja tukang sayur yang kini menjual produk lewat WhatsApp atau Facebook. Mereka bukan hanya bertahan, tapi juga berkembang.

Di mana transformasi ini terjadi? 

Jawabannya: di sekitar kita. Mulai dari warung kelontong yang menerima pembayaran QRIS hingga petani lokal yang memanfaatkan e-commerce untuk menjual produk mereka tanpa perantara.

Siapa yang paling diuntungkan? 

Tentu saja kita semua. Konsumen mendapatkan kemudahan, pelaku usaha kecil mendapat akses pasar lebih luas, dan pemerintah mendapat pemasukan pajak dari transaksi digital.

Kapan digitalisasi mulai menjadi solusi?

Jawabannya adalah sekarang. Ketika inflasi mengancam daya beli, diskon dan promo yang hanya tersedia di platform digital menjadi penyelamat banyak rumah tangga.

Kadang manusia butuh tertawa di tengah tekanan hidup. Bayangkan jika tetangga Anda, si tukang sayur, mendadak viral karena gaya promonya mirip content creator di Instagram. Mendadak, dia bukan hanya menjual sayur, tapi juga "engagement."

Bagaimana kita bisa beradaptasi? 

Dengan membuka pikiran terhadap teknologi. Berhenti mengatakan "saya gaptek" dan mulai belajar.

Antara Peluang dan Tantangan

Namun, tak semua sisi digitalisasi seindah iklan aplikasi dompet digital. Ada tantangan besar: literasi digital. Di Indonesia, hanya sekitar 40% penduduk yang benar-benar melek digital. Ini menjelaskan mengapa sebagian masyarakat masih tergoda dengan penipuan online atau hoaks yang beredar di media sosial.

Bayangkan jika semua orang memahami potensi teknologi. Tukang bakso pinggir jalan bisa punya aplikasi pre-order. Petani bisa langsung menjual hasil panen ke konsumen lewat platform digital, memotong jalur distribusi panjang. Bahkan Anda, sebagai konsumen, bisa belanja hemat dengan memanfaatkan promo dari aplikasi belanja.

Saat Tukang Sayur Jadi Influencer

Tapi, mari berhenti sejenak untuk merenung. Seperti apa masa depan jika semua orang beralih ke digital? Apakah mungkin suatu hari tukang sayur di kompleks Anda menjadi influencer dengan jutaan pengikut? "Ayo, ibu-ibu, beli bayam ini, segar, seperti cinta pertama Anda!" Sementara kita tertawa membayangkan ini, kenyataannya, peluang ini memang ada.

Namun, jangan lupa, digitalisasi tanpa kesetaraan hanya menciptakan jurang. Apa gunanya aplikasi canggih jika sinyal internet di desa masih sebatas angan? Apa manfaat promo online jika literasi digital rendah?

Digitalisasi yang Merata

Maka, yang kita butuhkan adalah strategi. Pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat harus bekerja sama memastikan transformasi digital ini inklusif. Pelatihan digital gratis, akses internet terjangkau, dan pengawasan ketat terhadap platform digital harus menjadi prioritas.

Sebagai individu, kita juga punya peran. Mulai dari hal kecil: ajak orang tua belajar menggunakan aplikasi pembayaran, dukung UMKM lokal yang berjualan online, dan tentu saja, bijak dalam bermedia sosial.

Transformasi digital adalah peluang, tapi juga tanggung jawab. Di tengah gempuran teknologi, kita harus memastikan bahwa semua orang bisa ikut menikmati manfaatnya. Seperti kata pepatah modern: 

"Adaptasi bukan soal teknologi, tapi soal manusia yang ingin terus belajar."

Jadi, mari berhenti takut, mulai belajar, dan bantu tetangga tukang sayur Anda menjadi influencer berikutnya. Siapa tahu, di balik celotehan promonya, ada inspirasi untuk ekonomi masa depan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun