Ada suatu momen saat kita merasa lelah dengan pekerjaan, tekanan sosial, atau bahkan hanya kebosanan. Ketika itu, banyak dari kita mengarahkan perhatian ke aplikasi belanja online.Â
Tombol "Masukkan ke Keranjang" seolah-olah berteriak, "Aku adalah jawaban untuk semua masalahmu!"Â
Tapi, apakah benar belanja online bisa disebut terapi, atau ini hanya bentuk pelarian modern yang dikemas secara elegan?
Mengapa Belanja Online Begitu Memikat?
Sebelum menjawab pertanyaan besar itu, mari kita pahami mengapa belanja online begitu menggoda. Menurut penelitian dari Harvard Business Review, berbelanja memicu pelepasan dopamin di otak kita.Â
Dopamin, yang dikenal sebagai "hormon bahagia," sering kali memberikan ilusi kepuasan. Perasaan ini mirip dengan saat kita makan cokelat atau mendengar lagu favorit.
Namun, apakah kita benar-benar bahagia? Atau, seperti gula dalam teh, kebahagiaan itu hanya sementara? Misalnya, Anda membeli hoodie yang menggemaskan dengan warna lavender pastel.Â
Barang datang, Anda senang selama sehari, tetapi besok Anda sadar kalau lavender tidak cocok dengan warna kulit Anda. Alhasil, hoodie itu berakhir menjadi penghuni tetap lemari.
Contoh Kehidupan Nyata: Cicilan Tanpa Akhir
Lusi (bukan nama sebenarnya) adalah pekerja kantoran berusia 28 tahun yang hidup di tengah rutinitas Jakarta yang sibuk. Saat stres melanda, Lusi selalu mengandalkan aplikasi belanja online. Menurutnya, membeli barang, meskipun hanya lip balm, memberinya rasa kendali di tengah kekacauan hidup.Â