Mohon tunggu...
Kartika Tjandradipura
Kartika Tjandradipura Mohon Tunggu... Wiraswasta - Co-Founder Writing for Healing Community

Penulis dengan tujuan utama yaitu untuk meningkatkan mental health awareness dan self compassion. Untuk mengenal tulisannya lebih jauh, bisa dilihat di akun Instagram : @kartika_olive

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Ketika Dompet Dituntun oleh Perasaan: Bahaya Emosi dalam Keputusan Finansial

5 Desember 2024   22:13 Diperbarui: 5 Desember 2024   22:26 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Keputusan Finansial (sumber: esgindonesia.com) 

Pernahkah Anda belanja online tengah malam hanya karena bosan, atau menahan investasi karena takut "nanti rugi"? Selamat, Anda manusia biasa. 

Keuangan kita sering kali seperti komidi putar yang dikendalikan emosi: ketakutan, keserakahan, bahkan optimisme. 

Dalam teori, keuangan adalah permainan logika, tetapi dalam praktik, emosi kerap jadi sutradara utama. Dan di sini letak masalahnya.

Mari kita mulai dengan ketakutan. Ibarat seorang penjaga gawang yang terlalu fokus menghindari gol, ketakutan sering membuat kita terlalu defensif. 

Ketika pasar saham menurun, banyak investor buru-buru menjual saham mereka, takut kehilangan lebih banyak uang. Padahal, dalam dunia investasi, kepanikan justru sering merugikan. 

Sebuah studi oleh Dalbar, Inc. menunjukkan bahwa investor rata-rata menghasilkan jauh lebih rendah daripada pasar saham karena keputusan emosional. Ketakutan membuat kita melupakan prinsip dasar investasi: tetap tenang dan berpikir jangka panjang.

Di sisi lain, ada keserakahan, lawan dari ketakutan, tetapi sama berbahayanya. Keserakahan adalah si penggoda manis yang membisikkan, "Beli sekarang, harga pasti naik lagi!" atau "Masukkan semua uangmu, ini kesempatan emas."

Keserakahan ini yang sering mendorong fenomena bubble ekonomi. Ingat gelembung dot-com tahun 2000-an? Orang-orang berbondong-bondong membeli saham teknologi tanpa benar-benar memahami apa yang mereka beli, hanya karena mereka tidak ingin "ketinggalan kereta." 

Ketika gelembung pecah, kerugian besar tak terhindarkan. Keserakahan adalah api yang membakar akal sehat kita hingga habis.

Namun, optimisme juga tak selalu baik. Bayangkan Anda sedang berkendara di jalan berliku dan tiba-tiba merasa, "Ah, saya pasti bisa melaju lebih cepat, jalanan aman." Optimisme berlebihan seperti ini bisa membuat kita mengabaikan risiko. 

Dalam keuangan, optimisme berlebih sering muncul ketika kita merasa terlalu percaya diri dengan kemampuan kita, misalnya, dalam trading saham harian atau memulai bisnis tanpa perencanaan matang. 

Penelitian dari American Psychological Association menyebutkan bahwa overconfidence adalah salah satu bias kognitif paling umum dalam pengambilan keputusan keuangan.

Lalu, bagaimana kita bisa mengatasi pengaruh emosi ini? Langkah pertama adalah mengenali emosi itu sendiri. 

Sama seperti meditasi mengajarkan kita untuk menyadari pikiran tanpa terjebak di dalamnya, begitu pula dalam keuangan. Ketika merasa takut, tanyakan pada diri sendiri: "Apakah rasa takut ini beralasan, atau hanya refleks?" 

Ketika tergoda oleh keserakahan, berhentilah sejenak dan evaluasi: "Apakah keputusan ini didasarkan pada data, atau hanya dorongan sesaat?"

Metafora sederhana: bayangkan emosi Anda adalah rem dan gas dalam berkendara. Ketakutan adalah rem yang bisa menghentikan Anda di tengah jalan, sementara keserakahan adalah gas yang bisa membuat Anda melaju terlalu cepat hingga menabrak. 

Keuangan yang sehat memerlukan keseimbangan: tahu kapan harus mempercepat, dan kapan harus berhenti sejenak.

Tentu, ini lebih mudah diucapkan daripada dilakukan. Bagaimana kita bisa mempraktikkan hal ini sehari-hari? Salah satu caranya adalah dengan membuat rencana keuangan yang matang. 

Punya anggaran bulanan, menetapkan tujuan investasi, dan tetap disiplin pada rencana tersebut bisa menjadi tameng dari godaan emosi. Selain itu, berbicara dengan penasihat keuangan atau bahkan teman tepercaya bisa memberikan perspektif yang lebih objektif.

Yang menarik, emosi tidak selalu musuh. Emosi juga yang membuat kita peduli pada keluarga, ingin memberikan yang terbaik untuk mereka, dan termotivasi untuk bekerja lebih keras. 

Rahasianya adalah menyeimbangkan logika dan perasaan, seperti menulis puisi yang indah tetapi tetap berirama.

Pada akhirnya, uang hanyalah alat. Alat yang bisa digunakan untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik, tetapi juga bisa menghancurkan jika digunakan tanpa pikir panjang. 

Seperti pisau di tangan seorang koki: berguna untuk memotong bahan makanan, tetapi berbahaya jika digunakan sembarangan.

Jadi, sebelum mengambil keputusan keuangan berikutnya, tanyakan pada diri sendiri: "Apakah saya sedang menggunakan logika, atau terjebak dalam emosi?" Karena di dunia yang penuh godaan ini, keseimbangan adalah kunci. 

Sebuah kutipan sederhana untuk direnungkan: "Emosi mungkin mengajarkan kita untuk hidup, tetapi logika mengajarkan kita untuk bertahan."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun