Mohon tunggu...
Kartika Tjandradipura
Kartika Tjandradipura Mohon Tunggu... Wiraswasta - Co-Founder Writing for Healing Community

Penulis dengan tujuan utama yaitu untuk meningkatkan mental health awareness dan self compassion. Untuk mengenal tulisannya lebih jauh, bisa dilihat di akun Instagram : @kartika_olive

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Rumah Kecil, Hati Besar: Pelajaran dari Rumah Foster Hewan Terlantar

5 Desember 2024   06:22 Diperbarui: 6 Desember 2024   15:42 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto hewan terlantar (iStockphoto/Arina_Bogachyova) 

Ada yang bilang, "Kamu tak bisa mengubah dunia, tapi kamu bisa mengubah dunia satu makhluk hidup pada satu waktu." Ungkapan ini menggambarkan betul bagaimana para relawan rumah foster hewan terlantar menjalani hidup mereka. 

Mereka bukan hanya memberikan atap sementara bagi kucing dan anjing yang ditelantarkan, tetapi juga menawarkan secuil harapan untuk dunia yang lebih manusiawi. Mari kita bedah fenomena ini dari kacamata kemanusiaan, logika, dan, tentu saja, ironi sosial.

Ketika Carolina Fajar dan Jeanne Karmila mendirikan komunitas Let's Adopt Indonesia pada 2011, mereka mungkin tidak membayangkan bahwa misi sederhana menyelamatkan seekor anjing yang minum air selokan akan membawa mereka ke perjalanan panjang ini. 

Dengan empati yang jarang kita temui di dunia penuh deadline dan utang cicilan ini, mereka membangun jaringan relawan untuk menampung hewan-hewan terlantar. Hingga kini, komunitas tersebut telah membantu ratusan hewan menemukan keluarga baru.

Mengapa ada begitu banyak hewan terlantar di jalanan? Jawabannya sederhana, tapi ironis: manusia. 

Entah karena alasan ekonomi, kebosanan, atau ketidaktahuan, banyak orang membuang hewan peliharaan mereka seperti membuang botol plastik. Namun, tidak seperti plastik yang membutuhkan ratusan tahun untuk terurai, hewan-hewan ini hanya butuh hitungan minggu untuk menyerah pada kelaparan atau penyakit.

Kisah Seekor Kucing dan Sebuah Rumah

Mari kita lihat kisah Timo, seekor kucing berusia tiga bulan yang ditemukan seorang relawan dalam kondisi dehidrasi parah. Dalam hitungan hari, Timo dipindahkan ke rumah foster. Di sana, dia mendapat perawatan intensif dan, lebih penting lagi, cinta kasih yang ia butuhkan. 

Tidak ada penghakiman, tidak ada tuntutan; hanya tangan yang sabar dan lembut yang menyuapi susu formula. Kisah ini mengajarkan satu hal sederhana: ketika dunia terasa gelap, uluran tangan kecil bisa menjadi lilin yang menerangi jalan.

Namun, di balik kehangatan kisah ini, ada tekanan mental yang dirasakan para foster parent. Mereka menghadapi dilema klasik: terlalu terikat dengan hewan yang dirawat, tetapi tahu bahwa suatu saat harus melepaskannya untuk diadopsi. 

Banyak dari mereka mengalami "foster blues," kondisi emosional yang serupa dengan kehilangan. Ini menjadi pengingat bahwa empati yang berlebihan, meskipun mulia, dapat menjadi pedang bermata dua.

"Adopt, Don't Buy": Seruan yang Lebih dari Sekadar Tren

Mengapa mengadopsi lebih baik daripada membeli? Pertama, adopsi membantu mengurangi populasi hewan terlantar yang kini telah mencapai angka ribuan di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya. 

Kedua, adopsi adalah bentuk solidaritas terhadap makhluk yang sering kali menjadi korban keegoisan manusia. 

Ketiga, mari kita hadapi fakta: hewan yang diadopsi memiliki kisah yang lebih menarik daripada yang lahir di peternakan komersial.

Namun, seruan ini sering kali jatuh di telinga yang tuli. Masih banyak orang yang memandang hewan sebagai status simbol, memilih membeli ras tertentu dengan harga selangit, sementara ratusan hewan lokal menunggu nasib mereka di shelter atau jalanan. 

Ini seperti memilih lukisan palsu yang mahal, padahal ada karya seni asli yang gratis di depan mata.

Hewan sebagai Teman, Bukan Makanan

Tidak sedikit yang terkejut mendengar bahwa konsumsi daging anjing atau kucing masih menjadi tradisi di beberapa wilayah. Kampanye seperti "Dogs and Cats Are Friends, They're Not Food" mencoba melawan stigma ini, meskipun jalannya penuh rintangan. 

Argumen budaya sering kali digunakan untuk membenarkan praktik ini. Tetapi, jika budaya adalah alasan, maka kita semua masih harus berkendara dengan kereta kuda dan mengirim surat lewat merpati.

Melihat anjing sebagai teman, bukan makanan, sebenarnya sejalan dengan prinsip-prinsip kesehatan mental. Hewan peliharaan terbukti mengurangi stres, meningkatkan kebahagiaan, bahkan membantu penyembuhan trauma. 

Bayangkan jika kita bisa menyelamatkan seekor anjing dari panci masak dan menjadikannya sahabat setia, itu adalah kemenangan kecil dalam hidup yang sering terasa penuh kekalahan.

Untuk Para Penonton Pasif

Lucunya, banyak dari kita merasa tersentuh saat melihat video penyelamatan hewan di media sosial, tetapi tetap menjadi penonton pasif. Kita melayangkan komentar "so sweet" sembari makan keripik kentang, tanpa niat untuk terlibat. 

Ini seperti menonton drama televisi tentang keadilan, tetapi tetap melanggar lampu merah setiap hari. Dunia tidak butuh lebih banyak komentar, ia butuh lebih banyak tindakan.

Kita semua hidup dalam rumah foster besar bernama dunia. Setiap makhluk yang kita bantu, setiap empati yang kita tunjukkan, adalah upaya kecil untuk membuat dunia ini lebih ramah. Tidak ada yang bisa menyelamatkan semua, tetapi semua orang bisa menyelamatkan sesuatu.

"Ketika kita menyelamatkan hewan yang terlantar, sebenarnya kita sedang menyelamatkan bagian dari kemanusiaan kita sendiri." Kalimat ini mungkin tidak cukup untuk mengubah dunia, tetapi semoga cukup untuk mengubah hati. 

Jika Anda memiliki ruang di rumah, di hati, dan dalam jadwal sibuk Anda, jadilah lilin kecil itu untuk makhluk yang membutuhkan. Sebab, dunia ini terlalu besar untuk dijalani sendirian, baik bagi manusia maupun hewan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun