Ada kisah seorang ibu muda bernama Santi (nama samaran) yang kerap mendengar bisikan di telinganya. Bisikan itu, katanya, terdengar seperti suara pria tua dengan nada yang dingin dan mengancam.Â
Awalnya ia berpikir ini hanya efek dari kelelahan, maklum, rutinitasnya sebagai ibu rumah tangga tidak pernah memberi jeda.
Namun, ketika bisikan itu mulai memintanya melakukan hal-hal aneh, seperti melempar pisau dapur ke suaminya yang sedang tertidur, Santi mulai panik.
Keluarganya terbelah. Sang ibu mertua menyarankan pergi ke paranormal yang terkenal di desa mereka, sedangkan suaminya, seorang pegawai bank yang logis, bersikeras agar Santi menemui psikiater.Â
Santi, dalam kebingungannya, akhirnya memilih keduanya. Ia membawa telur ayam kampung untuk ritual pembersihan energi negatif, dan keesokan harinya duduk di ruang konsultasi psikiater dengan rasa bersalah, takut "roh-roh gaib" akan marah.
Cerita seperti ini bukan hal baru di masyarakat kita. Dalam budaya yang memadukan mistisisme dan sains, orang sering kali dihadapkan pada dilema: ketika bisikan-bisikan misterius menyerbu kepala, siapa yang harus dihubungi lebih dulu, paranormal atau psikiater?
Bisikan gaib atau gangguan medis, sebenarnya apa yang terjadi?
Dalam dunia psikiatri, fenomena seperti yang dialami Santi disebut halusinasi auditori. Hal ini biasa dialami oleh penderita skizofrenia, sebuah gangguan mental kronis yang membuat penderitanya sulit membedakan realitas dari imajinasi.Â
Menurut data dari WHO, skizofrenia memengaruhi sekitar 24 juta orang di dunia, atau sekitar 1 dari 300 populasi global. Meskipun prevalensinya tidak besar, dampaknya bisa sangat merusak kualitas hidup seseorang.
Namun, dalam konteks budaya kita, fenomena ini sering dihubungkan dengan hal-hal mistis. Bisikan dianggap sebagai suara arwah penasaran, jin yang kesal, atau bahkan kutukan dari leluhur.Â
Sebuah survei informal dari sebuah komunitas kesehatan mental di Indonesia menunjukkan bahwa hampir 60% keluarga lebih dulu membawa anggota mereka ke paranormal sebelum mencari bantuan medis.Â
Hal ini menunjukkan betapa kuatnya pengaruh kepercayaan tradisional dalam menangani masalah kesehatan mental.
Mengapa masyarakat cenderung memilih paranormal? Jawabannya mungkin sederhana: manusia selalu mencari penjelasan yang sesuai dengan pengalaman dan kepercayaannya.
Ketika seseorang tumbuh dalam lingkungan yang percaya pada dunia gaib, suara-suara misterius dianggap sebagai fenomena supranatural, bukan masalah biologis.
Psikiater mungkin dianggap tidak relevan karena mereka menggunakan bahasa sains yang terkadang sulit dipahami, dibandingkan dengan solusi sederhana seperti membakar kemenyan atau menyiram garam ke pojok rumah.
Namun, apakah ini selalu efektif? Tidak juga. Dalam banyak kasus, pendekatan supranatural ini hanya menunda diagnosis dan pengobatan yang sebenarnya bisa menyelamatkan hidup.
Coba bayangkan otak sebagai komputer. Ketika sistem operasi mengalami bug, solusinya adalah debugging, bukan mengganti mouse atau monitor. Begitu pula dengan skizofrenia. Halusinasi dan delusi terjadi karena adanya ketidakseimbangan kimiawi di otak, terutama pada neurotransmiter seperti dopamin.
Gangguan ini membutuhkan "debugging" berupa terapi dan pengobatan, bukan sekadar "ritual restart" yang mungkin menenangkan sementara, tetapi tidak menyelesaikan akar masalah.
Namun, di sinilah humor satirnya muncul. Beberapa paranormal menawarkan solusi yang, jika dipikir ulang, terdengar seperti layanan teknis untuk gadget: "Ibu perlu ganti energi negatif ini dengan energi positif. Besok bawa sesajen tambahan, ya. Lima puluh ribu sekalian untuk ongkos roh pulang." Seolah-olah ada "manajer call center" di dimensi gaib yang menangani keluhan manusia.
Lalu bagaimana dengan psikiater? Mereka sering dianggap sebagai pilihan terakhir, padahal perannya sangat krusial. Psikiater tidak hanya memberikan diagnosis, tetapi juga menawarkan pengobatan berbasis bukti.Â
Dalam kasus skizofrenia, terapi yang tepat bisa membantu seseorang menjalani hidup yang hampir normal.Â
Sayangnya, stigma terhadap gangguan mental sering membuat orang ragu mendekati psikiater. Kata "gila" masih sering melekat pada pasien, meskipun gangguan mental sama normalnya dengan penyakit fisik seperti diabetes.
Namun, bisakah kedua pendekatan ini berdampingan? Mengapa tidak? Ritual tradisional bisa memberikan rasa aman secara emosional bagi pasien dan keluarganya, sedangkan pengobatan medis menangani aspek biologis gangguan tersebut.Â
Dalam hal ini, penting untuk mengedukasi masyarakat bahwa paranormal mungkin membantu secara psikologis, tetapi psikiaterlah yang memiliki solusi jangka panjang.
Kembali ke kisah Santi. Setelah menjalani terapi kognitif dan obat-obatan dari psikiaternya, bisikan-bisikan itu perlahan menghilang. Namun, ia tetap menjaga hubungan dengan paranormalnya, bukan untuk menyelesaikan masalah mental, tetapi sebagai teman berbagi cerita. "Sekarang saya tahu suara itu bukan arwah, tapi saya masih suka ngobrol sama Bu Siti. Kadang dia lebih enak diajak curhat daripada suami saya," kata Santi sambil tertawa.
Ada pelajaran besar di sini: memahami gangguan mental tidak berarti harus sepenuhnya menyingkirkan budaya.Â
Yang penting adalah menemukan keseimbangan. Karena, pada akhirnya, entah suara-suara itu berasal dari dunia lain atau hanya dari otak kita yang lelah, yang terpenting adalah kita mendapatkan bantuan yang tepat.
Jadi, jika suatu hari Anda mendengar bisikan yang aneh, sebelum membawa telur ayam kampung atau menelepon psikiater, mungkin Anda perlu bertanya pada diri sendiri: apakah ini panggilan dari dunia lain, atau sinyal bahwa otak Anda butuh liburan?
Kita semua memiliki sisi manusiawi yang sama: keinginan untuk dipahami, didengar, dan ditolong. Tidak peduli apakah Anda percaya pada sains, dunia lain, atau keduanya, langkah pertama yang paling penting adalah tidak takut mencari bantuan.Â
Seperti kata Santi, "Roh-roh gaib mungkin tidak pernah benar-benar pergi, tapi sekarang saya tahu siapa yang punya kunci pintu pikiran saya, dan itu bukan mereka."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H