Mohon tunggu...
Kartika Tjandradipura
Kartika Tjandradipura Mohon Tunggu... Wiraswasta - Co-Founder Writing for Healing Community

Penulis dengan tujuan utama yaitu untuk meningkatkan mental health awareness dan self compassion. Untuk mengenal tulisannya lebih jauh, bisa dilihat di akun Instagram : @kartika_olive

Selanjutnya

Tutup

New World Pilihan

Digital Afterlife: Ketika Kehidupan Setelah Kematian Ada di Cloud

1 Desember 2024   10:48 Diperbarui: 1 Desember 2024   11:02 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kehidupan setelah kematian, sebuah konsep yang sejak lama dikuasai oleh agama, filsafat, dan seni, kini memiliki pengertian baru di era digital. 

Dengan kemajuan teknologi, gagasan tentang afterlife tidak lagi terbatas pada surga atau reinkarnasi. Kini, kita berbicara tentang warisan digital: bagaimana jejak kita di dunia maya terus hidup, bahkan setelah tubuh kita tiada. 

Namun, apakah ini sebuah inovasi yang memberi makna baru pada keabadian atau hanya menciptakan pertanyaan etika dan risiko baru yang belum pernah kita bayangkan?


Bayangkan seorang kerabat yang telah meninggal tetapi terus mengirimkan pesan kepada Anda melalui chatbot yang dirancang menggunakan riwayat digital mereka.

 Kedengarannya seperti film fiksi ilmiah, tetapi layanan seperti ini sudah mulai muncul. Beberapa perusahaan menawarkan teknologi untuk mengunggah data pribadi seseorang, dari pesan teks hingga unggahan media sosial, ke dalam sistem berbasis kecerdasan buatan (AI). Hasilnya? Simulasi kepribadian digital yang bisa berbicara, menjawab pertanyaan, bahkan memberikan nasihat.

Namun, di balik keajaiban teknologi ini, ada pertanyaan yang sulit dijawab: apakah warisan digital ini benar-benar "hidup"? Atau hanya ilusi yang diciptakan oleh algoritma untuk memenuhi kebutuhan emosional orang yang ditinggalkan?

Dr. Nadia Permatasari, seorang psikolog teknologi, menyebut fenomena ini sebagai bentuk "ketergantungan emosional digital." "Ada aspek kenyamanan, tetapi juga risiko besar bagi proses berduka. Bagaimana seseorang dapat melepaskan ketika yang 'meninggal' terus hadir secara virtual?" katanya. 

Kehadiran digital ini mungkin membantu beberapa orang mengatasi kehilangan, tetapi bisa juga menciptakan kesulitan baru, seperti ketergantungan pada sesuatu yang tidak nyata.

Selain dampak emosional, ada pula isu privasi yang tak kalah mengkhawatirkan. Data yang digunakan untuk menciptakan warisan digital ini diambil dari riwayat aktivitas online seseorang. Tetapi, siapa yang benar-benar memiliki hak atas data itu? Apakah keluarga atau pihak ketiga yang menyediakan layanan? Dalam era di mana kebocoran data sudah menjadi masalah global, risiko penyalahgunaan warisan digital ini sangat nyata.

Bayangkan seseorang menciptakan versi digital Anda tanpa izin, menggunakan data yang Anda bagikan secara tidak sengaja di media sosial. Versi ini mungkin menyerupai Anda, tetapi siapa yang bisa menjamin bahwa ia tidak akan digunakan untuk tujuan yang merugikan, seperti penipuan atau manipulasi politik?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten New World Selengkapnya
Lihat New World Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun