Kalau ada satu hal yang Instagram ajarkan pada kita, itu adalah bahwa self-care terlihat sangat estetik. Masker wajah dengan aroma lavender, lilin aroma terapi menyala di sudut kamar yang remang-remang, segelas teh hijau di samping novel yang (let's be honest) hanya difoto, bukan dibaca. Begitulah wajah self-care versi sosial media. Tapi, apakah benar self-care sesederhana itu? Atau jangan-jangan, kita malah terjebak menjadikan self-care sebagai tren estetik alih-alih kebutuhan esensial untuk kesehatan mental kita?
Mari kita mundur sejenak dan berpikir. Kapan terakhir kali Anda benar-benar melakukan self-care yang efektif? Bukan sekadar membuat konten, bukan untuk pencitraan di story Instagram, tapi benar-benar karena Anda ingin memulihkan diri.Â
Apakah meditasi itu dilakukan karena Anda benar-benar merasa cemas, atau karena meditasi sedang trending? Apakah membeli skin care terbaru itu karena Anda ingin merawat diri, atau karena TikTok bilang produk itu bisa bikin kulit glowing seperti pendaran rembulan? Pertanyaan-pertanyaan sederhana, tapi jawabannya sering kali bikin nyesek.
Self-Care yang Terjebak di Dunia Virtual
Zaman sekarang, self-care lebih sering diidentikkan dengan aktivitas konsumtif. Seolah-olah Anda baru bisa mencintai diri sendiri kalau dompet ikut menangis. Padahal, self-care bukan soal membeli sesuatu, tapi lebih pada menemukan ketenangan di tengah kekacauan.Â
Sayangnya, di era media sosial ini, self-care seperti terjebak dalam balutan kapitalisme: artinya belanja. Kalau nggak pakai produk mahal, nggak minum kopi di kafe Instagramable, atau nggak check-in di spa mewah, kok rasanya self-care-nya kurang sah?
Kita jadi lupa esensi dari self-care itu sendiri: sebuah kebutuhan, bukan gaya hidup yang harus dipamerkan. Kalau Anda sedang burnout, tubuh Anda tidak peduli apakah Anda memakai moisturizer seharga ratusan ribu atau yang dibeli di minimarket. Yang dibutuhkan adalah istirahat, waktu untuk memulihkan diri, bukan likes dan komentar yang memuji aesthetic feed Anda.
Self-Care Itu, Ironisnya, Tidak Terlihat
Hal yang sering terlupakan adalah bahwa self-care tidak selalu bisa ditangkap kamera.
 Kadang, berarti tidur delapan jam penuh, padahal ada deadline kerjaan yang menggoda untuk dilembur. Kadang, self-care berarti berkata "tidak" pada ajakan teman nongkrong demi menjaga energi Anda. Dan yang paling sering tidak dianggap estetik: pergi ke terapis atau meminta bantuan profesional ketika Anda merasa tidak sanggup menghadapi hidup sendirian.
Tapi, coba saja posting di Instagram: "Aku habis konseling ke psikolog." Dijamin komentarnya jauh lebih sedikit dibanding kalau Anda upload foto yoga di pantai dengan caption "Healing time!" Padahal, langkah pertama untuk benar-benar mencintai diri sendiri adalah dengan menerima bahwa kita punya batas, dan batas itu tidak harus terlihat keren.
Kebutuhan atau Sekadar Ikutan?
Self-care adalah kebutuhan fundamental manusia. Sama seperti makan dan minum, setiap orang membutuhkannya. Tapi, di tengah hiruk-pikuk media sosial, kebutuhan ini sering bergeser jadi sekadar ikutan tren. Apalagi, ada semacam ekspektasi sosial bahwa kita harus selalu terlihat "healed," padahal kenyataannya, hidup tidak sesederhana itu.
Ambil contoh sederhana. Anda merasa lelah, tetapi bukan lelah fisik. Ini adalah lelah yang datang dari pikiran dan emosi yang terus-terusan ditarik ke berbagai arah. Dalam kondisi ini, yang Anda butuhkan mungkin adalah waktu untuk sendiri, mendengarkan diri Anda, tanpa distraksi.Â
Tapi apa yang Anda lakukan?Â
Membuka media sosial, mencari inspirasi tentang "self-care", dan akhirnya malah stres sendiri karena merasa healing Anda kurang aesthetic dibanding orang lain.
Ironi terbesar adalah, semakin kita mengejar standar versi orang lain, semakin kita menjauh dari kebutuhan sebenarnya. Kita jadi lupa bahwa merawat diri sendiri itu personal. Apa yang cocok untuk satu orang belum tentu cocok untuk yang lain.
Praktik Self-Care yang Benar-Benar Efektif
Jadi, bagaimana caranya praktik yang benar-benar efektif?Â
Langkah pertama adalah berhenti membandingkan diri Anda dengan orang lain. Tidak ada formula universal untuk self-care. Yang ada hanyalah mendengarkan tubuh dan pikiran Anda, mengenali apa yang Anda butuhkan, lalu memberikannya tanpa rasa bersalah.
Kalau Anda merasa lelah, istirahatlah, walaupun itu berarti tidak membalas pesan pekerjaan selama beberapa jam. Kalau Anda merasa sedih, menangislah, walaupun itu berarti menghapus riasan yang sudah Anda pakai dengan susah payah. Dan kalau Anda merasa perlu bantuan, jangan ragu untuk mencarinya. Tidak ada yang salah dengan meminta tolong.
Yang penting adalah konsistensi. Self-care bukan sesuatu yang dilakukan sekali seminggu untuk konten Instagram, tapi sebuah kebiasaan yang perlu dirawat setiap hari. Kadang, mencintai diri sendiri itu tidak terasa glamor atau menyenangkan.Â
Kadang, berarti menolak drama, menghindari toxic people, atau bahkan menghadapi rasa takut yang sudah lama Anda pendam.
Akhirnya, Self-Care Adalah tentang Mencintai Diri Sendiri
Di penghujung hari, ini bukan soal lilin aromaterapi atau masker wajah, melainkan tentang menghormati diri Anda sendiri. Ini adalah pengingat bahwa Anda berharga, bahwa Anda layak untuk diperhatikan, bahkan oleh diri Anda sendiri.
Seperti yang pernah dikatakan oleh seorang bijak, "Kamu adalah rumahmu sendiri. Jadi, jangan biarkan rumah itu kosong dan tidak terawat." Dalam dunia yang penuh dengan distraksi, ingatlah bahwa merawat diri sendiri adalah cara terbaik untuk menjaga kewarasan. Dan Anda tidak perlu selfie untuk membuktikannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H