Permisi dulu, ini saya tanya: kapan terakhir kali Anda minta maaf sama keluarga sendiri?
 Bukan permintaan maaf formal kayak, "Maaf ya, Ibu, aku lupa ngangkat jemuran," terus selesai. Tapi yang sungguh-sungguh, dari hati, kayak di sinetron: penuh air mata, pelukan, dan backsound piano melankolis.Â
Kalau jawabannya "lama banget sampai lupa," Anda tidak sendiri. Kita semua kayaknya sama. Lucunya, kalau sama orang asing di jalan, minta maaf justru gampang banget.Â
Ketabrak dikit, langsung, "Maaf ya, Mas," padahal kita yang ditabrak. Entah kenapa, basa-basi minta maaf ke orang lain terasa lebih mudah daripada mengakui kesalahan ke keluarga.
Fenomena ini sebenarnya mengherankan. Keluarga adalah orang yang paling dekat dengan kita, yang selalu ada di kala susah maupun senang. Tapi kenapa justru dengan mereka, permintaan maaf jadi kayak tugas akhir yang gak kelar-kelar? Jawabannya bisa jadi lebih kompleks dari sekadar "gengsi."
Mari kita mulai dari kebiasaan sehari-hari. Di dalam keluarga, ada pola hubungan yang sudah terbentuk sejak kecil.Â
Kalau kita salah, misalnya, ngelawan orang tua waktu remaja gara-gara gak dikasih uang jajan tambahan, jarang ada yang langsung bilang, "Maaf, Bu, tadi aku kurang sopan." Biasanya malah ngambek, masuk kamar, tutup pintu keras-keras, lalu berharap masalah selesai sendiri.Â
Lama-lama, budaya "diam-diaman" ini terbawa sampai dewasa. Permintaan maaf pun jadi barang langka, meskipun di lubuk hati terdalam, kita tahu kita salah.
Bandingkan dengan situasi di luar rumah. Kalau di tempat kerja atau lingkungan sosial, kita sadar betul soal "manajemen kesan." Kita gak mau kelihatan kasar atau ceroboh, jadi otomatis lebih mudah bilang maaf ke orang asing.Â
Bukan karena kita lebih peduli sama mereka, tapi karena kita menjaga citra diri. Di rumah? Ah, siapa peduli soal citra? Toh, mereka keluarga, pasti ngerti, kan? Ya, kan? Tapi, apakah benar mereka selalu ngerti?
Masalah lain adalah soal ekspektasi yang gak terucapkan. Keluarga sering kali dianggap sebagai tempat aman, sehingga kita cenderung berpikir mereka akan memaklumi apapun.
 Kalau kita salah, kita berharap cinta mereka cukup besar untuk mengabaikan kesalahan itu tanpa perlu kita ucapkan maaf. Tapi, diam-diam, anggota keluarga lain mungkin menyimpan luka kecil yang lama-lama jadi besar. Gak ada yang ngomong langsung, tapi perasaan kecewa dan sakit hati bertumpuk seiring waktu.
Hal ini diperparah oleh ego. Ego adalah tembok besar yang sering kali lebih sulit ditembus daripada tembok Berlin. Kita takut terlihat lemah di depan keluarga. Dalam pikiran kita, minta maaf adalah bentuk kekalahan, sementara dengan orang asing, itu sekadar formalitas.Â
Padahal, kenyataannya, meminta maaf ke orang yang kita cintai butuh keberanian lebih besar daripada sekadar basa-basi ke orang tak dikenal.
Di sisi lain, ada rasa takut akan reaksi. Bagaimana kalau mereka gak terima maaf kita? Bagaimana kalau mereka justru mengungkit-ungkit kesalahan kita yang lain? Rasa takut ini sering kali tidak beralasan, tapi cukup kuat untuk membuat kita memilih diam daripada harus menghadapi ketidakpastian.
Yang lucu, kadang alasan kita gak minta maaf ke keluarga adalah karena kita terlalu yakin mereka akan selalu ada. Kita berpikir, "Ah, nanti aja. Masih ada waktu kok."Â
Tapi hidup, sayangnya, gak sefleksibel jadwal kita. Waktu gak bisa diatur ulang. Banyak orang baru sadar pentingnya kata "maaf" setelah kehilangan kesempatan untuk mengucapkannya. Ketika orang tua kita, kakak, adik, atau bahkan pasangan sudah pergi, kita baru merasakan beratnya penyesalan.
Di sinilah kita harus belajar dari kesalahan. Permintaan maaf, sekecil apapun, adalah bentuk penghargaan terhadap hubungan. Memang, memulainya gak gampang. Tapi, bukankah hubungan yang bermakna layak diperjuangkan?
Mungkin kita perlu mulai dari hal kecil. Misalnya, saat ada momen-momen sederhana seperti makan malam bersama atau ngobrol santai di ruang tamu, coba buka percakapan. Kalau perlu, sampaikan maaf dengan cara yang ringan dulu, kayak, "Eh, maaf ya kemarin aku ngomongnya agak kasar." Meski terdengar sederhana, efeknya bisa besar. Terkadang, orang hanya butuh mendengar pengakuan kecil untuk merasa dihargai.
Pada akhirnya, hubungan keluarga adalah investasi jangka panjang. Apa yang kita tanam hari ini akan menentukan seberapa kuat ikatan kita di masa depan.Â
Kalau kita terus-menerus menghindari minta maaf, yang kita hasilkan hanyalah jurang komunikasi yang semakin lebar. Tapi, kalau kita berani mengakui kesalahan, meskipun kecil, kita sedang membangun jembatan yang bisa mempererat hubungan.
Jadi, lain kali, sebelum Anda dengan santai bilang "maaf" ke orang asing yang bahkan gak akan Anda temui lagi, coba pikirkan: kapan terakhir kali Anda melakukan hal yang sama ke keluarga?Â
Jangan sampai kata "maaf" yang sebenarnya sederhana menjadi sesuatu yang terlalu mahal untuk diucapkan. Ingatlah, "maaf" adalah kata kecil dengan dampak besar. Dan jika diucapkan dengan tulus, ia punya kekuatan untuk menyembuhkan luka, memperbaiki hubungan, dan menciptakan kedamaian.
Karena pada akhirnya, minta maaf bukan soal siapa yang menang atau kalah, tapi soal siapa yang berani mencintai lebih dulu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H