Mohon tunggu...
Kartika Tjandradipura
Kartika Tjandradipura Mohon Tunggu... Wiraswasta - Co-Founder Writing for Healing Community

Penulis dengan tujuan utama yaitu untuk meningkatkan mental health awareness dan self compassion. Untuk mengenal tulisannya lebih jauh, bisa dilihat di akun Instagram : @kartika_olive

Selanjutnya

Tutup

Parenting Artikel Utama

Ketika Orang Tua Harus Istirahat, tetapi Kepala Mereka Tetap Sibuk

26 November 2024   10:27 Diperbarui: 26 November 2024   22:48 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Aku ini sudah baikan, nggak sakit-sakit amat. Jangan diperlakukan seperti barang pecah belah!" Kalimat sakti ini keluar dari mulut orang tua yang sedang pemulihan, penuh rasa percaya diri meski tubuhnya sendiri sudah jelas berkata lain.

Mereka, generasi yang tumbuh dengan prinsip "kerja itu ibadah," tiba-tiba disuruh istirahat total. Hasilnya? Rasa frustrasi yang merembet ke seluruh anggota keluarga, dari cucu sampai tetangga sebelah.

Orang tua, terutama yang terbiasa aktif, seringkali menolak menerima kenyataan bahwa tubuhnya butuh jeda. Mereka menolak digolongkan sebagai "manusia setengah pensiun." 

Sebagai anak atau keluarga, situasi ini rasanya seperti memegang kaca retak: kita ingin melindungi mereka, tapi kadang mereka sendiri yang "ngelompatin pagar."

Bayangkan ini, bapak yang sudah didiagnosis harus banyak duduk malah ngotot memperbaiki genteng yang bocor. Atau ibu yang seharusnya mengurangi stres malah tetap heboh mengurus arisan dan memasak rendang untuk satu RT. "Ini soal harga diri," kata mereka. 

Padahal, kalau sudah sampai kamar rumah sakit, baru terdengar keluhan lirih, "Iya, capek juga sih."

Tapi ya begitulah orang tua. Bagi mereka, ketergantungan adalah momok. Meminta bantuan anak terasa seperti menggadaikan martabat. 

Kita, anak-anak mereka, hanya bisa memendam emosi sambil mengingat pepatah, "Kasih ibu (orang tua) sepanjang masa." Sayangnya, pepatah itu lupa menyebutkan bahwa kasih anak harus sepanjang kesabaran.

Di sisi lain, keluarga yang mengurus orang tua dalam masa pemulihan sering kali terjebak dalam dilema emosional. Kita ingin memberikan yang terbaik untuk mereka, tapi manusiawi juga kalau kita merasa lelah.

Kadang, ada momen di mana kita ingin bilang, "Pa, tolong istirahat. Jangan bikin aku ikut stres." Namun, kata-kata itu terhenti di ujung lidah karena rasa bersalah.

Yang menarik, dalam situasi ini, sering kali muncul konflik kecil tapi penuh drama. Misalnya, kita menyuruh orang tua makan bubur dan jus buah, tapi mereka malah ngotot ingin makan soto Betawi dengan kuah santan kental. "Bubur itu makanan orang sakit, aku kan sehat!" kata mereka. Padahal, kondisi kesehatannya sudah membuat dokter geleng-geleng kepala.

Situasi ini membuat kita jadi memahami, ternyata cinta pada keluarga adalah pekerjaan penuh waktu tanpa hari libur. Tapi cinta itu juga, meski terkadang membuat kita mengeluh, adalah alasan kenapa kita tetap bertahan. Dalam hati kita tahu, orang tua yang keras kepala itu sebenarnya hanya takut kehilangan kendali atas hidup mereka.

Namun, di sinilah pentingnya kompromi. Kita perlu mengajak mereka bicara, bukan hanya memerintah. Alih-alih berkata, "Jangan makan santan," mungkin lebih baik berkata, "Bagaimana kalau kita buat soto Betawi versi lebih sehat? Aku masak, tapi Mama tetap kasih resep rahasianya." 

Percakapan seperti ini bukan hanya menyelamatkan jantung mereka, tapi juga menyelamatkan hubungan keluarga dari pertengkaran kecil yang tidak perlu.

Dan untuk kita, para keluarga yang mengurus, ingatlah satu hal: kita juga manusia. Tidak apa-apa merasa lelah, marah, atau frustasi. Semua emosi itu wajar. Yang penting, jangan sampai perasaan itu membuat kita melupakan tujuan utama, menjaga mereka dengan kasih sayang. 

Kalau perlu, ambil waktu untuk diri sendiri. Titipkan tugas sejenak kepada anggota keluarga lain, atau bahkan minta bantuan tenaga profesional.

Momen-momen seperti ini sering kali mengajarkan kita arti cinta yang sesungguhnya. Cinta bukan hanya tentang memberi, tapi juga tentang saling memahami. Dan ya, memahami orang tua yang kadang keras kepala memang lebih sulit daripada mengerjakan soal matematika di sekolah.

Sebuah kutipan dari Harper Lee di To Kill a Mockingbird pernah berkata, "You never really understand a person until you climb into his skin and walk around in it." 

Untuk memahami orang tua kita, kita harus mencoba melihat dunia dari sudut pandang mereka, dunia di mana mereka merasa kehilangan kontrol, di mana mereka takut menjadi beban, dan di mana cinta mereka pada keluarga justru membuat mereka tidak mau terlihat lemah.

Pada akhirnya, masa-masa sulit ini akan menjadi kenangan berharga. Ketika kita melihat mereka tersenyum lega karena merasa dihargai, atau ketika akhirnya mereka mau mendengarkan nasihat kita, ada rasa bahagia yang sulit dijelaskan. 

Itu adalah momen di mana kita menyadari, meskipun mereka tidak sempurna, mereka adalah orang tua terbaik yang pernah kita miliki.

Dan saat mereka mulai keras kepala lagi? Tarik napas dalam-dalam, senyum, lalu katakan dengan lembut, "Ma, Pa, ingat kata dokter, ya." Sebelum akhirnya kita menyiapkan santan rendah lemak untuk soto Betawi impian mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun