Cuma gara-gara kepala nyut-nyutan sedikit, kamu langsung buka Google dan ngetik, "penyebab sakit kepala sebelah kanan"?Â
Awalnya cuma niat cari tahu, tapi sejam kemudian kamu sudah sampai di artikel yang bilang, "Waspadai Tumor Otak atau Stroke." Yang tadinya sakit kepala biasa langsung naik level jadi rasa panik level akut.Â
Dan di titik itulah, Google resmi jadi dokter langganan kamu, walaupun cuma bikin stres dan paranoid.
Google, teman-teman, adalah tempat di mana segalanya bisa terjadi. Ketik saja gejala apa pun, dari "sakit tenggorokan" sampai "gampang nangis lihat iklan minyak goreng," pasti ada artikel yang bilang, "Gejala awal gangguan serius yang harus segera ditangani."Â
Semua orang tiba-tiba jadi dokter amatir yang ahli mendiagnosis diri sendiri. Tapi, masalahnya, apakah kita benar-benar tahu apa yang kita lakukan?
Mungkin kamu pernah ngalamin fase ini: pagi-pagi bangun dengan sedikit nyeri di punggung, terus mikir, "Ini kurang tidur atau tulang belakang mulai geser?" Bukannya tanya orang tua atau tidur lagi, kamu malah buka Google.Â
Hasilnya? Artikel pertama: "Nyeri punggung bisa jadi tanda hernia diskus intervertebralis." Artikel kedua: "Apakah ini kanker tulang belakang?"Â
Terus, kamu langsung diem, megang punggung, dan merasa seperti tokoh utama drama medis yang waktu hidupnya tinggal beberapa episode lagi.
Inilah yang disebut dengan cyberchondria, alias kebiasaan cari tahu penyakit di internet sampai stres sendiri. Bukan cuma bikin panik, kebiasaan ini juga berbahaya. Pertama, Google nggak tahu riwayat kesehatanmu.Â
Dia nggak tahu kalau nyeri punggung itu mungkin cuma gara-gara posisi tidur miring ke kanan semalaman. Dia juga nggak tahu kalau kamu baru begadang nonton drakor dan kurang olahraga. Tapi karena artikel yang muncul seringnya ngeri-ngeri sedap, otak kita langsung lompat ke kesimpulan terburuk.