Contohnya, Anda bilang, "Duh, hujan terus, jemuran nggak kering-kering." Lalu teman Anda menjawab, "Ya ampun, tapi bayangin deh, orang di negara lain yang kekeringan pasti pengen banget hujan seperti kita."Â
Loh, kok curhatan saya tentang jemuran jadi bahan perbandingan global? Saya cuma ingin baju saya kering, bukan ceramah tentang isu lingkungan.
Tentu saja, bukan berarti kita harus selalu pesimis atau menularkan energi negatif. Tapi, ada perbedaan besar antara menjadi suportif dan menjadi toksik.Â
Menjadi suportif berarti memberikan ruang bagi orang lain untuk merasa, mendengarkan tanpa menghakimi, dan hanya memberikan saran jika diminta.Â
Sedangkan menjadi toksik adalah berusaha "memperbaiki" perasaan orang lain dengan cara memaksakan pandangan positif, tanpa benar-benar memahami apa yang sedang mereka rasakan.
Jadi, bagaimana cara kita menghindari toxic positivity? Langkah pertama adalah belajar untuk mendengarkan. Ketika seseorang curhat, fokuslah pada apa yang mereka katakan, bukan pada respons apa yang harus Anda berikan.Â
Tidak ada salahnya untuk mengatakan, "Aku ngerti kok, pasti berat banget." Kalimat sederhana seperti ini jauh lebih berarti daripada ceramah panjang tentang pentingnya bersyukur.
Langkah kedua adalah mengakui bahwa tidak semua masalah butuh solusi. Kadang, keluhan itu hanya bentuk pelampiasan sementara, seperti ketika kita memarahi tembok karena tersandung kaki meja.Â
Itu tidak berarti kita membenci meja, tapi lebih kepada bentuk ungkapan rasa sakit yang tidak tahu harus diarahkan ke mana.
Langkah ketiga, yang mungkin paling penting, adalah menerima bahwa tidak apa-apa untuk merasa tidak baik-baik saja. Kita tidak harus selalu kuat, tidak harus selalu bahagia.Â
Terkadang, kita hanya perlu waktu untuk duduk, mengeluh, dan merasa lelah. Dan jika ada seseorang yang mendengarkan tanpa menghakimi, itu adalah bonus yang sangat berharga.