Tapi saat keluhan itu dibalas dengan kalimat seperti, "Jangan gitu dong, nanti nggak bahagia," seolah-olah emosi negatif itu adalah dosa besar yang harus segera ditebus. Padahal, manusia itu diciptakan dengan spektrum emosi yang lengkap, dari bahagia hingga marah, dari tenang hingga stres. Tidak ada yang salah dengan merasa sedih, marah, atau frustrasi. Yang salah adalah mengabaikan perasaan itu hanya demi terlihat positif.
Selain itu, toxic positivity juga menciptakan jarak dalam hubungan. Misalnya, Anda curhat ke teman tentang masalah keluarga yang bikin kepala nyut-nyutan, lalu teman Anda cuma bilang, "Yuk, semangat, kamu pasti bisa!" Lama-lama Anda jadi malas curhat. Rasanya seperti berbicara dengan chatbot yang hanya bisa menjawab dengan template kalimat penyemangat. Akibatnya, Anda memendam semua emosi itu sendiri, dan bukannya membaik, justru bisa berujung pada stres berkepanjangan.
Sebenarnya, toxic positivity ini sering tidak disadari oleh pelakunya. Mereka mungkin berpikir bahwa dengan menyemangati, mereka sedang membantu. Tapi kenyataannya, tidak semua masalah butuh solusi instan.Â
Kadang, kita hanya butuh didengarkan. Misalnya, ketika Anda mengatakan, "Duh, kerjaan hari ini banyak banget, aku capek banget," respons yang ideal bukanlah, "Kamu pasti bisa kok, kerja keras itu nggak pernah sia-sia." Sebaliknya, cukup dengan, "Wah, capek banget ya, semoga bisa cepat selesai," itu saja sudah cukup membuat hati lebih lega.
Toxic positivity ini juga punya rekan sejawat yang tak kalah menyebalkan: overthinking positivity. Ini adalah versi upgrade, di mana keluhan kita justru dijadikan bahan perenungan mendalam tentang arti hidup. Contohnya, Anda bilang, "Duh, hujan terus, jemuran nggak kering-kering." Lalu teman Anda menjawab, "Ya ampun, tapi bayangin deh, orang di negara lain yang kekeringan pasti pengen banget hujan seperti kita." Loh, kok curhatan saya tentang jemuran jadi bahan perbandingan global? Saya cuma ingin baju saya kering, bukan ceramah tentang isu lingkungan.
Tentu saja, bukan berarti kita harus selalu pesimis atau menularkan energi negatif. Tapi, ada perbedaan besar antara menjadi suportif dan menjadi toksik. Menjadi suportif berarti memberikan ruang bagi orang lain untuk merasa, mendengarkan tanpa menghakimi, dan hanya memberikan saran jika diminta. Sedangkan menjadi toksik adalah berusaha "memperbaiki" perasaan orang lain dengan cara memaksakan pandangan positif, tanpa benar-benar memahami apa yang sedang mereka rasakan.
Jadi, bagaimana cara kita menghindari toxic positivity? Langkah pertama adalah belajar untuk mendengarkan. Ketika seseorang curhat, fokuslah pada apa yang mereka katakan, bukan pada respons apa yang harus Anda berikan. Tidak ada salahnya untuk mengatakan, "Aku ngerti kok, pasti berat banget." Kalimat sederhana seperti ini jauh lebih berarti daripada ceramah panjang tentang pentingnya bersyukur.
Langkah kedua adalah mengakui bahwa tidak semua masalah butuh solusi. Kadang, keluhan itu hanya bentuk pelampiasan sementara, seperti ketika kita memarahi tembok karena tersandung kaki meja. Itu tidak berarti kita membenci meja, tapi lebih kepada bentuk ungkapan rasa sakit yang tidak tahu harus diarahkan ke mana.
Langkah ketiga, yang mungkin paling penting, adalah menerima bahwa tidak apa-apa untuk merasa tidak baik-baik saja. Kita tidak harus selalu kuat, tidak harus selalu bahagia. Terkadang, kita hanya perlu waktu untuk duduk, mengeluh, dan merasa lelah. Dan jika ada seseorang yang mendengarkan tanpa menghakimi, itu adalah bonus yang sangat berharga.
Jadi, jika Anda termasuk orang yang suka membalas keluhan dengan kalimat semangat, cobalah sesekali mengganti respons Anda. Dengarkan, berempati, dan jangan buru-buru memberikan solusi. Kadang, respons terbaik adalah diam sambil mengangguk dan berkata, "Iya, hidup emang kadang nyebelin." Percayalah, itu jauh lebih menenangkan daripada, "Tetap semangat, ya!"
Karena pada akhirnya, semua orang hanya ingin dimengerti, bukan diperbaiki.