Mohon tunggu...
Kartika Tjandradipura
Kartika Tjandradipura Mohon Tunggu... Wiraswasta - Co-Founder Writing for Healing Community

Penulis dengan tujuan utama yaitu untuk meningkatkan mental health awareness dan self compassion. Untuk mengenal tulisannya lebih jauh, bisa dilihat di akun Instagram : @kartika_olive

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Toxic Positivity, Ketika Keluhan Tulus Dibalas dengan Ceramah Semangat

23 November 2024   15:18 Diperbarui: 2 Desember 2024   13:50 435
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Beragam jenis wajah toxic positivity. (Sumber: thepsychologygroup.com via kompas.com)

Memang sih, bersyukur itu penting, tapi nggak harus juga diucapkan setiap kali ada orang ngeluh. Kadang, orang cuma ingin validasi atas rasa capeknya, bukan ceramah spiritual yang tidak diminta.

Apa efek dari toxic positivity ini? Banyak. Salah satunya adalah membuat orang merasa emosi mereka tidak valid. Ketika kita ngeluh, itu sebenarnya bentuk pengakuan atas apa yang kita rasakan. 

Tapi saat keluhan itu dibalas dengan kalimat seperti, "Jangan gitu dong, nanti nggak bahagia," seolah-olah emosi negatif itu adalah dosa besar yang harus segera ditebus. 

Padahal, manusia itu diciptakan dengan spektrum emosi yang lengkap, dari bahagia hingga marah, dari tenang hingga stres. Tidak ada yang salah dengan merasa sedih, marah, atau frustrasi. Yang salah adalah mengabaikan perasaan itu hanya demi terlihat positif.

Ilustrasi Toxic Positivity (sumber: cendekiaharapan.sch.id) 
Ilustrasi Toxic Positivity (sumber: cendekiaharapan.sch.id) 

Selain itu, toxic positivity juga menciptakan jarak dalam hubungan. Misalnya, Anda curhat ke teman tentang masalah keluarga yang bikin kepala nyut-nyutan, lalu teman Anda cuma bilang, "Yuk, semangat, kamu pasti bisa!" 

Lama-lama Anda jadi malas curhat. Rasanya seperti berbicara dengan chatbot yang hanya bisa menjawab dengan template kalimat penyemangat. 

Akibatnya, Anda memendam semua emosi itu sendiri, dan bukannya membaik, justru bisa berujung pada stres berkepanjangan.

Sebenarnya, toxic positivity ini sering tidak disadari oleh pelakunya. Mereka mungkin berpikir bahwa dengan menyemangati, mereka sedang membantu. Tapi kenyataannya, tidak semua masalah butuh solusi instan. 

Kadang, kita hanya butuh didengarkan. Misalnya, ketika Anda mengatakan, "Duh, kerjaan hari ini banyak banget, aku capek banget," respons yang ideal bukanlah, "Kamu pasti bisa kok, kerja keras itu nggak pernah sia-sia." Sebaliknya, cukup dengan, "Wah, capek banget ya, semoga bisa cepat selesai," itu saja sudah cukup membuat hati lebih lega.

Toxic positivity ini juga punya rekan sejawat yang tak kalah menyebalkan: overthinking positivity. Ini adalah versi upgrade, di mana keluhan kita justru dijadikan bahan perenungan mendalam tentang arti hidup. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun