Di zaman di mana harga konsultasi psikolog bisa bikin dompet berasa kena stroke ringan, komunitas "Writing for Healing" hadir seperti hujan di tengah kemarau panjang. Iya, menulis. Sesederhana itu.Â
Tidak perlu antre di ruang tunggu dokter dengan suara anak kecil menangis dan bapak-bapak batuk berdahak di pojokan. Cukup duduk, nyalakan laptop atau keluarkan notes, dan mulai menumpahkan isi kepala.
Komunitas ini berbasis kelas menulis, tapi jangan bayangkan seperti kelas menulis sastra berat ala Dee Lestari atau Eka Kurniawan. Di sini, semua bebas berekspresi tanpa takut diprotes soal plot hole atau typo.Â
Fokusnya adalah menjadikan menulis sebagai mekanisme koping bagi orang-orang yang---jujur saja---sudah hampir copot akal sehatnya karena berbagai masalah hidup. Dari stres karena kerjaan, cinta bertepuk sebelah tangan, sampai trauma masa kecil yang lebih pelik daripada drama Korea. Semua diakomodasi dengan satu prinsip dasar: di sini, tidak ada yang menghakimi.
Bayangkan ini sebagai safe haven. Tempat di mana Anda bisa curhat tentang mantan yang selingkuh atau bos yang lebih toxic daripada limbah pabrik tanpa takut ada yang tiba-tiba nyamber, "Makanya, cari pasangan yang bener dong!" atau, "Ya, itu kan salahmu sendiri." Yang julid atau nyinyir? Langsung kena SP 1, SP 2, lalu dicoret dari daftar anggota. Serius, ini lebih ketat daripada aturan di grup WhatsApp keluarga.
Tapi jangan salah, walau terkesan santai, efek dari komunitas ini terhadap kesehatan mental anggotanya sungguh nyata. Ada penelitian (atau setidaknya teori yang cukup masuk akal) yang mengatakan bahwa menulis itu mirip terapi. Ketika tangan Anda sibuk mengetik atau menulis, otak Anda mulai memilah mana yang penting dan mana yang bisa diabaikan. Persis seperti Marie Kondo, tapi untuk emosi.
Di "Writing for Healing," kelas menulisnya tidak melulu soal "bagaimana menulis dengan baik dan benar." Justru, banyak yang lebih absurd. Ada tantangan menulis tentang hal-hal random seperti "Apa yang akan kamu katakan jika bisa ngobrol dengan kucing tetangga?" atau "Tulis dialog antara kamu dan nasi goreng yang gagal pedas."Â
Dan tahukah Anda? Ini justru yang bikin anggotanya merasa lebih ringan. Kadang, obrolan absurd seperti ini bisa membuat kita melupakan sejenak tagihan listrik yang belum dibayar atau kenyataan pahit bahwa gaji sudah habis di tanggal lima.
Selain itu, vibe di komunitas ini sangat hangat. Ada sesi sharing yang sering kali berakhir dengan saling rangkul virtual. Saat salah satu anggota curhat tentang perjuangannya melawan kecemasan, anggota lain tidak akan membalas dengan komentar seperti, "Ah, masa segitu aja udah stres?" atau "Minum jahe hangat aja biar rileks." Sebaliknya, mereka saling menguatkan. Bahkan, ada yang sampai menulis puisi khusus untuk menyemangati anggota lain. Ini level solidaritas yang, jujur saja, lebih solid daripada grup alumni SMA yang isinya cuma forward hoaks.
Namun, yang paling menarik adalah bagaimana komunitas ini menciptakan ruang bagi obrolan-obrolan absurd yang sering kali mengundang tawa. Misalnya, pernah ada sesi di mana salah satu anggota bertanya, "Kalau dunia ini cuma ada nasi, apa kalian tetap makan nasi goreng?" Percakapan pun mengalir dari topik nasi goreng ke teori konspirasi bahwa kentang sebenarnya alien. Kedengarannya konyol, tapi obrolan seperti ini bisa jadi terapi tersendiri. Karena, terkadang, kita hanya butuh tertawa tanpa alasan untuk melupakan tekanan hidup.