Mohon tunggu...
Kartika Tjandradipura
Kartika Tjandradipura Mohon Tunggu... Wiraswasta - Co-Founder Writing for Healing Community

Penulis dengan tujuan utama yaitu untuk meningkatkan mental health awareness dan self compassion. Untuk mengenal tulisannya lebih jauh, bisa dilihat di akun Instagram : @kartika_olive

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Konspirasi di Balik Parkir Liar

19 November 2024   08:15 Diperbarui: 19 November 2024   08:35 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: democrazy.id

Harga parkir liar yang semakin mahal seolah menjadi misteri yang membingungkan masyarakat urban. Bagaimana bisa tarif parkir di pinggir jalan, tanpa izin resmi, dan tanpa fasilitas apa pun, terus merangkak naik hingga menyamai biaya makan siang di warung tegal?

 Tentu ada konspirasi besar di balik ini semua, yang jika kita telusuri lebih dalam, bisa jadi melibatkan organisasi-organisasi rahasia jalanan yang selama ini kita abaikan. 

Bayangkan sebuah malam di gang sempit yang dipenuhi lampu neon kelap-kelip ala film noir. Di situlah, di sebuah gudang bekas pabrik es krim, berlangsung pertemuan tahunan Aliansi Tukang Parkir Liar Nasional (ATPLN). Dengan dress code seragam garis-garis merah putih yang iconic, para tukang parkir berkumpul dari seluruh penjuru kota. 

Ada Pak Sobar, penjaga parkir senior di depan minimarket yang dikenal dengan sapaan legendarisnya, "Mau ngopi dulu, Bos?"; ada juga Yanto, penjaga parkir yang memonopoli depan kafe kekinian dengan pose satu tangan di kantong celana dan wajah penuh percaya diri bak pengusaha sukses.

Malam itu, ketua ATPLN, seorang pria misterius berinisial B.K., yang disinyalir adalah mantan kernet bus yang beralih profesi, naik ke panggung. Dengan suara bariton penuh wibawa, ia membuka pertemuan, "Rekan-rekan, saatnya kita membahas masalah yang sudah lama menjadi keluhan: harga parkir kita masih terlalu murah! Bayangkan, retribusi resmi sudah sampai sepuluh ribu rupiah per jam, masa kita masih empat ribu sekali parkir?"

Gemuruh tepuk tangan dan seruan, “Naikkan! Naikkan!” mengisi ruangan. Ada semacam semangat juang proletar di sana. Mereka, para pejuang parkir jalanan, merasa layak mendapatkan pengakuan lebih dari sekadar upah pas-pasan dan pandangan sinis pengguna jalan.

Konspirasi ini tidak berhenti di situ. Di balik harga parkir liar yang semakin mahal, kabarnya ada perjanjian tersembunyi dengan Konglomerat Mafia Jalanan (KMJ), organisasi bayangan yang mengatur hal-hal absurd, seperti siapa yang boleh jualan kacang rebus di perempatan jalan dan tarif sandal hilang di masjid-masjid besar. 

KMJ ini, yang dipimpin seorang tokoh misterius berjuluk Bang Toge (katanya karena janggutnya runcing seperti toge), memiliki andil besar dalam mendorong harga-harga jasa informal merangkak naik.

Di dalam pertemuan itu, ada sesi diskusi interaktif. Seorang tukang parkir muda dari daerah Ciledug, Agus, dengan jaket jeans belel, mengangkat tangan, “Tapi, Ketua, kalau harga parkir kita naikin lagi, gimana kalau pelanggan kabur ke parkir resmi atau malah pindah ke ojek online?”

Pak B.K. hanya tersenyum kecil, “Nak Agus, itulah hebatnya kita. Mereka pikir parkir resmi lebih aman, tapi tunggu sampai mereka tahu kalau remote pengendali portal parkir itu juga kita yang pegang.” Suasana seketika penuh tawa.

Tentu saja, ide ini terdengar mengada-ada. Namun, siapa yang bisa membantah bahwa harga parkir liar yang semakin mahal memiliki logika tersendiri yang hanya dimengerti oleh segelintir orang? Anggap saja seperti hukum tak tertulis, di mana sebuah lahan kosong pinggir jalan bisa berubah status jadi ‘zona eksklusif’ hanya dengan kehadiran tukang parkir berbaju rompi dan peluit merah. 

Apakah mereka mengikuti pelatihan khusus? Tentu saja! Rumor mengatakan bahwa ada akademi rahasia di belakang pasar malam, tempat para calon tukang parkir digembleng keterampilan dasar seperti ‘melotot intimidatif’ dan ‘kode-kode jari untuk parkir mundur.’

Dan bagaimana dengan harga yang berbeda di tiap tempat? Mengapa parkir di depan kafe yang hanya bisa menampung lima mobil bisa lebih mahal daripada parkir di lapangan bola desa? Jawabannya lagi-lagi terletak pada monopoli zona, yang hanya bisa dimenangkan oleh tukang parkir senior atau yang memiliki ‘lisensi khusus’ dari KMJ.

Tentu, fenomena ini menimbulkan dampak domino yang tidak kecil. Kenaikan tarif parkir liar berimbas pada hal-hal yang tak pernah terpikirkan sebelumnya. Penjual nasi goreng pinggir jalan harus menaikkan harga, karena pelanggan mengeluh uang receh mereka sudah habis untuk parkir. 

Di sisi lain, sopir ojek online mulai memandang tukang parkir sebagai saingan, bukan sekadar abang parkir yang suka ngopi bareng di pos ronda.

Sementara itu, ada desas-desus yang lebih mengejutkan. Bahwa sebenarnya, di tingkat paling atas, para mafia jalanan ini bekerja sama dengan perusahaan pengembang aplikasi parkir. Iya, aplikasi parkir! 

Semakin banyak orang jengkel dengan tarif parkir liar, semakin cepat mereka akan beralih ke solusi digital. Dan di sanalah, KMJ dan ATPLN duduk manis menerima bagian dari profit. Konspirasi ini begitu kompleks, penuh lapisan-lapisan intrik yang membuat film thriller politik Hollywood terasa sepele.

“Jadi, kapan kita mulai memberlakukan tarif baru?” tanya Pak Jaya, yang berjuluk ‘Raja Parkir Jalan Utama.’

Dengan wajah penuh tekad, B.K. menjawab, “Besok pagi, sebelum ayam berkokok. Kita akan membuat sejarah.”

Itulah awal dari era baru parkir liar. Era di mana tukang parkir bukan hanya pelengkap jalanan, tapi figur yang mengendalikan ekonomi mikro kota. Sebuah gerakan revolusioner yang sepertinya bakal kita ceritakan kepada anak cucu sebagai kisah heroik penuh tawa dan tangis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun