Fenomena ini tidak terjadi hanya pada saya. TikTok mengerti otak manusia lebih baik daripada guru Biologi kelas 10. Algoritma canggihnya tidak hanya tahu selera humor kita, tetapi juga memahami apa yang membuat kita bertahan lebih lama. Dari video masak cepat yang membuat kita lapar mendadak, sampai konten pengingat zodiak yang memberi kesan bahwa kehidupan kita sedang diawasi oleh bintang.Â
Setiap video yang lewat di For You Page tampaknya selalu tahu caranya menarik perhatian. Saking pintarnya TikTok, kadang-kadang saya curiga bahwa mereka punya kemampuan membaca pikiran. Padahal tidak, hanya algoritma yang tahu betul caranya merayu manusia.
Namun, pertanyaannya adalah: mengapa hal ini bisa jadi masalah? Bukankah scrolling adalah hak asasi kita sebagai netizen yang butuh hiburan? Benar. Masalahnya, ketika 'hiburan' berubah menjadi 'kebiasaan yang tak terkendali', efeknya pada kesehatan mental bisa cukup mengkhawatirkan. Penelitian menunjukkan bahwa penggunaan media sosial yang berlebihan dapat meningkatkan rasa cemas dan stres.Â
Doomscrolling, istilah yang populer saat pandemi, tak berbeda jauh dengan scroll TikTok berjam-jam. Kita tahu bahwa mata kita sudah lelah, tapi otak memerintahkan untuk terus lanjut, karena takut 'kehilangan' sesuatu yang penting, atau FOMO (fear of missing out).
Lucunya, alasan yang membuat kita scroll TikTok awalnya adalah menghindari stres dan menjaga kesehatan mental, tapi sering kali justru menambah perasaan bersalah karena membuang waktu. Setelah sesi maraton TikTok, ada jeda momen refleksi yang terasa seperti kata-kata bijak di akhir sinetron: "Mengapa aku begini? Mengapa waktu berlalu begitu cepat tanpa manfaat apa pun?" Di titik inilah kita terjebak dalam dilema: TikTok membuat kita bahagia sementara, tapi juga membuat kita merasa bersalah dalam jangka panjang.
Lalu, apa solusinya? Apakah kita harus melakukan detoks digital dan menghapus aplikasi ini? Bagi sebagian orang, ini mungkin solusi ampuh. Tapi bagi yang merasa belum siap mengucapkan selamat tinggal pada keseruan 'random facts' dan tarian viral, pendekatan lebih realistis mungkin adalah mindful scrolling, seni menggunakan TikTok dengan kesadaran penuh.Â
Setting batas waktu, misalnya, atau pastikan bahwa setiap sesi menonton diikuti dengan aktivitas yang lebih produktif. Kita bisa coba menerapkan rule of three: nonton tiga video, lalu berhenti dan evaluasi, "Apakah ini masih self-care atau sudah jadi momen penghancuran diri?"
Akhirnya, kita perlu memahami bahwa tak ada yang salah dengan menghibur diri dengan TikTok. Seperti semua hal dalam hidup, keseimbangan adalah kunci. TikTok boleh jadi bentuk self-care sementara, asalkan kita tahu kapan waktunya berhenti. Jangan sampai, keinginan untuk 'hiburan ringan' malah mengantar kita pada self-care yang berubah menjadi kelelahan yang tak terduga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H