Mohon tunggu...
Kartika Tjandradipura
Kartika Tjandradipura Mohon Tunggu... Wiraswasta - Co-Founder Writing for Healing Community

Penulis dengan tujuan utama yaitu untuk meningkatkan mental health awareness dan self compassion. Untuk mengenal tulisannya lebih jauh, bisa dilihat di akun Instagram : @kartika_olive

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Vegan Burger: Paradoks Tanpa Daging di Tengah Kuliner Indonesia

14 November 2024   05:59 Diperbarui: 14 November 2024   08:01 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : creativemarket.com

Dalam beberapa tahun terakhir, tren gaya hidup sehat dan ramah lingkungan semakin populer di Indonesia. Tidak hanya terbatas pada praktik bersepeda atau membawa tumbler sendiri, tetapi juga merambah ke dapur. Salah satu fenomena yang cukup menonjol adalah kebangkitan vegan burger---burger tanpa daging yang dibuat dari bahan nabati namun dirancang menyerupai rasa dan tekstur daging asli. Sekilas, ini terdengar seperti solusi sempurna untuk menjaga kesehatan, kelestarian lingkungan, dan, tentu saja, mendukung hak-hak hewan. Tapi, apakah vegan burger benar-benar menjawab semua janji muluk ini? Atau justru hanya sebatas tren penuh ironi yang mengundang senyum masam?

Ironi di Balik 'Burger' yang Bukan Burger

Sebelum kita lebih jauh membahas, mari kita telusuri apa sebenarnya definisi "burger". Secara tradisional, burger adalah paduan antara daging yang dimasak di antara dua roti. Jadi, saat kita berbicara tentang vegan burger, kita sedang membahas sesuatu yang secara teknis sudah berseberangan dengan esensi aslinya. Bagaikan menonton opera tanpa musik atau mendengar lagu pop tanpa lirik. Pertanyaannya: mengapa kita bersikeras memanggilnya 'burger'?

Di Indonesia, tren vegan burger ini tak hanya terbatas pada restoran mewah atau kafe hipster di Jakarta dan Bali. Pasar swalayan besar mulai menyediakan alternatif nabati yang cukup mahal dan diposisikan sebagai "pilihan sehat". Ironinya, dengan harga berkali lipat dari burger biasa, vegan burger justru sering kali menjadi simbol status, bukan lagi sekadar pilihan etis. Seperti kata pepatah modern, "Vegan is the new black."

Masalah Harga dan Realitas Ekonomi

Meskipun menawarkan narasi 'menyelamatkan bumi', harga vegan burger yang selangit membuatnya menjadi konsumsi kalangan menengah ke atas. Bagaimana mungkin makanan yang seharusnya ramah lingkungan dan berkelanjutan justru tidak ramah di kantong kebanyakan masyarakat? Di sinilah paradoks itu terletak: sebuah solusi yang diharapkan inklusif malah berakhir eksklusif.

Bayangkan seorang karyawan kantoran yang ingin beralih ke pola makan vegan demi menjaga kesehatan dan ikut serta mengurangi jejak karbon. Ketika ia tiba di kafe dan melihat harga burger nabati yang tiga kali lipat dari burger ayam goreng biasa, keinginan itu seketika menguap. Realitas ekonomi Indonesia yang tidak sepenuhnya stabil membuat tren ini sulit diakses oleh semua orang.

Rasa yang Mirip, atau Cuma Tipuan?

Salah satu klaim utama vegan burger adalah kemampuannya untuk meniru rasa dan tekstur daging asli. Namun, banyak pencicip pertama mengaku terpukau sekaligus bingung. "Ini enak, tapi... rasanya seperti mencoba terlalu keras untuk menjadi daging," kata seorang teman saya, yang setelah dua gigitan langsung kembali ke rendang ibu kos. Vegan burger sering kali dipenuhi zat aditif dan bahan kimia untuk menciptakan rasa dan sensasi kunyahan yang serupa daging. Ironisnya, apa yang seharusnya sehat justru bisa berakhir penuh dengan bahan yang sulit dieja dan dipahami.

Lingkungan yang Selamat?

Salah satu argumen utama yang dikemukakan penggemar vegan burger adalah dampak positifnya terhadap lingkungan. Memang benar, produksi daging, terutama daging sapi, menyumbang emisi gas rumah kaca yang signifikan. Namun, tidak semua yang nabati selalu lebih hijau. Bahan-bahan yang digunakan dalam vegan burger, seperti kedelai dan kacang polong, sering kali diimpor dari negara lain, yang artinya menambah jejak karbon dari transportasi. Belum lagi isu deforestasi untuk perkebunan kedelai di beberapa negara.

Di Indonesia sendiri, ada berbagai inisiatif lokal yang mencoba mengolah produk nabati asli, seperti tempe dan tahu, menjadi bahan burger. Tetapi, produk-produk ini sering kali tidak mendapatkan sorotan atau label "keren" seperti halnya burger berbasis kedelai impor yang diolah dengan teknologi canggih.

Kesimpulan: Sebuah Tren atau Solusi?

Vegan burger di Indonesia memotret ironi yang menarik antara niat baik dan realitas ekonomi-sosial. Di satu sisi, mereka menawarkan janji akan keberlanjutan dan kesehatan. Di sisi lain, aksesibilitas dan validitas klaim tersebut sering dipertanyakan. Mungkin, sebelum bergegas melabeli sesuatu sebagai "sehat" atau "ramah lingkungan", ada baiknya kita menelusuri kembali dampaknya yang lebih luas.

Bukan berarti kita harus meninggalkan tren vegan burger sepenuhnya, tetapi lebih ke arah bijak dalam memilih: Apakah kita mengonsumsi sesuatu karena tren atau karena kesadaran yang lebih dalam? Hingga saat itu, vegan burger akan terus menjadi simbol gaya hidup yang setengah lucu, setengah serius, dan sepenuhnya mengundang perdebatan di meja makan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun