Sebagian besar dari Anda semua pasti pernah merasa tertekan untuk selalu terlihat bahagia dan positif di tempat kerja, bahkan ketika hati sedang galau? Mungkin Anda pernah mendengar kalimat-kalimat seperti, "Jangan terlalu dipikirkan," atau "Pasti ada hikmah di balik semua ini." Kalimat-kalimat seperti itu, yang kerap kita dengar dalam kehidupan sehari-hari, sebenarnya menyimpan bahaya tersembunyi yang dikenal sebagai toxic positivity.
Toxic positivity adalah sebuah fenomena di mana emosi negatif seperti kesedihan, kemarahan, atau kekecewaan dianggap tidak valid dan harus dihindari. Di lingkungan kerja, fenomena ini seringkali termanifestasi dalam bentuk harapan yang tidak realistis untuk selalu produktif dan bersemangat, tanpa mempertimbangkan emosi dan kebutuhan manusia yang sebenarnya.
Bayangkan Anda bekerja di sebuah startup yang sedang berkembang pesat. Setiap pagi, Anda diajak untuk melakukan kegiatan membangun semangat tim dengan yel-yel dan tepuk tangan meriah. Namun, di balik semangat yang tampak semu ini, Anda merasa terbebani dengan beban kerja yang sangat tinggi. Ketika Anda mencoba untuk mengungkapkan perasaan lelah atau frustrasi, Anda justru disalahkan karena tidak memiliki semangat juang yang tinggi.
Mengapa Berbahaya?
Toxic positivity bukanlah sekadar sikap optimisme yang berlebihan. Ini adalah sebuah mekanisme pertahanan yang berbahaya, yang seringkali digunakan untuk menutupi masalah yang lebih dalam. Ketika kita terus-menerus dituntut untuk selalu bersemangat dan positif, kita sebenarnya sedang mengabaikan aspek penting dari pengalaman manusia: yaitu, emosi negatif. Emosi seperti sedih, marah, atau kecewa adalah bagian alami dari kehidupan. Mencoba untuk meniadakan emosi-emosi ini sama saja dengan mencoba melawan arus.
Toxic positivity, dalam konteks lingkungan kerja, bukanlah sekadar sikap optimisme yang berlebihan. Ini adalah sebuah mekanisme pertahanan yang berbahaya, yang seringkali digunakan untuk menutupi masalah yang lebih dalam. Ketika kita terus-menerus dituntut untuk selalu bersemangat dan positif, kita sebenarnya sedang mengabaikan aspek penting dari pengalaman manusia: yaitu, emosi negatif. Emosi seperti sedih, marah, atau kecewa adalah bagian alami dari kehidupan. Mencoba untuk meniadakan emosi-emosi ini sama saja dengan mencoba melawan arus.
Budaya toxic positivity di tempat kerja seringkali menjadi bumerang. Alih-alih menciptakan lingkungan yang produktif dan menyenangkan, justru melahirkan perasaan terisolasi, stres, dan burnout pada karyawan. Ini adalah ironi yang pahit, karena tujuan awal dari sikap positif adalah untuk meningkatkan kesejahteraan. Namun, ketika positifitas dipaksakan dan menjadi sebuah norma, maka tujuan tersebut justru berbalik menjadi kontraproduktif.
Membongkar Akar Masalah
Akar masalah dari hal ini sangat kompleks. Salah satu faktor utama adalah budaya perusahaan yang terlalu fokus pada pencapaian. Banyak perusahaan yang mengutamakan target dan hasil, sehingga karyawan merasa tertekan untuk selalu memberikan kinerja terbaik. Tekanan untuk selalu tampil sempurna ini membuat karyawan takut untuk mengakui kelemahan atau kegagalan. Akibatnya, mereka cenderung menyembunyikan perasaan negatif dan berpura-pura baik-baik saja.
Dampak yang Merusak
Dampaknya tidak hanya dirasakan oleh individu, tetapi juga oleh organisasi secara keseluruhan. Karyawan yang terus-menerus ditekan untuk selalu positif akan kehilangan motivasi dan semangat kerja. Mereka cenderung merasa terbakar dan akhirnya memutuskan untuk berhenti. Tingkat turnover yang tinggi ini tentu saja akan merugikan perusahaan, baik dari segi finansial maupun reputasi. Selain itu, lingkungan kerja yang toksik juga dapat menghambat kreativitas dan inovasi.