Mohon tunggu...
Kartika Tjandradipura
Kartika Tjandradipura Mohon Tunggu... Wiraswasta - Co-Founder Writing for Healing Community

Penulis dengan tujuan utama yaitu untuk meningkatkan mental health awareness dan self compassion. Untuk mengenal tulisannya lebih jauh, bisa dilihat di akun Instagram : @kartika_olive

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Senyum Palsu di Balik Topeng Kesuksesan: Membongkar Racun Positivitas di Tempat Kerja

31 Oktober 2024   18:10 Diperbarui: 31 Oktober 2024   18:15 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Worklife. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sebagian besar dari Anda semua pasti pernah merasa tertekan untuk selalu terlihat bahagia dan positif di tempat kerja, bahkan ketika hati sedang galau? Mungkin Anda pernah mendengar kalimat-kalimat seperti, "Jangan terlalu dipikirkan," atau "Pasti ada hikmah di balik semua ini." Kalimat-kalimat seperti itu, yang kerap kita dengar dalam kehidupan sehari-hari, sebenarnya menyimpan bahaya tersembunyi yang dikenal sebagai toxic positivity.

Toxic positivity adalah sebuah fenomena di mana emosi negatif seperti kesedihan, kemarahan, atau kekecewaan dianggap tidak valid dan harus dihindari. Di lingkungan kerja, fenomena ini seringkali termanifestasi dalam bentuk harapan yang tidak realistis untuk selalu produktif dan bersemangat, tanpa mempertimbangkan emosi dan kebutuhan manusia yang sebenarnya.

Bayangkan Anda bekerja di sebuah startup yang sedang berkembang pesat. Setiap pagi, Anda diajak untuk melakukan kegiatan membangun semangat tim dengan yel-yel dan tepuk tangan meriah. Namun, di balik semangat yang tampak semu ini, Anda merasa terbebani dengan beban kerja yang sangat tinggi. Ketika Anda mencoba untuk mengungkapkan perasaan lelah atau frustrasi, Anda justru disalahkan karena tidak memiliki semangat juang yang tinggi.

Mengapa Berbahaya?

Toxic positivity bukanlah sekadar sikap optimisme yang berlebihan. Ini adalah sebuah mekanisme pertahanan yang berbahaya, yang seringkali digunakan untuk menutupi masalah yang lebih dalam. Ketika kita terus-menerus dituntut untuk selalu bersemangat dan positif, kita sebenarnya sedang mengabaikan aspek penting dari pengalaman manusia: yaitu, emosi negatif. Emosi seperti sedih, marah, atau kecewa adalah bagian alami dari kehidupan. Mencoba untuk meniadakan emosi-emosi ini sama saja dengan mencoba melawan arus.

Toxic positivity, dalam konteks lingkungan kerja, bukanlah sekadar sikap optimisme yang berlebihan. Ini adalah sebuah mekanisme pertahanan yang berbahaya, yang seringkali digunakan untuk menutupi masalah yang lebih dalam. Ketika kita terus-menerus dituntut untuk selalu bersemangat dan positif, kita sebenarnya sedang mengabaikan aspek penting dari pengalaman manusia: yaitu, emosi negatif. Emosi seperti sedih, marah, atau kecewa adalah bagian alami dari kehidupan. Mencoba untuk meniadakan emosi-emosi ini sama saja dengan mencoba melawan arus.
Budaya toxic positivity di tempat kerja seringkali menjadi bumerang. Alih-alih menciptakan lingkungan yang produktif dan menyenangkan, justru melahirkan perasaan terisolasi, stres, dan burnout pada karyawan. Ini adalah ironi yang pahit, karena tujuan awal dari sikap positif adalah untuk meningkatkan kesejahteraan. Namun, ketika positifitas dipaksakan dan menjadi sebuah norma, maka tujuan tersebut justru berbalik menjadi kontraproduktif.

Membongkar Akar Masalah

Akar masalah dari hal ini sangat kompleks. Salah satu faktor utama adalah budaya perusahaan yang terlalu fokus pada pencapaian. Banyak perusahaan yang mengutamakan target dan hasil, sehingga karyawan merasa tertekan untuk selalu memberikan kinerja terbaik. Tekanan untuk selalu tampil sempurna ini membuat karyawan takut untuk mengakui kelemahan atau kegagalan. Akibatnya, mereka cenderung menyembunyikan perasaan negatif dan berpura-pura baik-baik saja.

Dampak yang Merusak

Dampaknya tidak hanya dirasakan oleh individu, tetapi juga oleh organisasi secara keseluruhan. Karyawan yang terus-menerus ditekan untuk selalu positif akan kehilangan motivasi dan semangat kerja. Mereka cenderung merasa terbakar dan akhirnya memutuskan untuk berhenti. Tingkat turnover yang tinggi ini tentu saja akan merugikan perusahaan, baik dari segi finansial maupun reputasi. Selain itu, lingkungan kerja yang toksik juga dapat menghambat kreativitas dan inovasi.


HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun