Mohon tunggu...
Kartika Tjandradipura
Kartika Tjandradipura Mohon Tunggu... Wiraswasta - Co-Founder Writing for Healing Community

Penulis dengan tujuan utama yaitu untuk meningkatkan mental health awareness dan self compassion. Untuk mengenal tulisannya lebih jauh, bisa dilihat di akun Instagram : @kartika_olive

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Ketahanan Pangan Indonesia: Antara Teknologi dan Keanekaragaman Pangan Lokal di Masa Depan

18 Oktober 2024   13:40 Diperbarui: 18 Oktober 2024   13:43 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Alam dan Teknologi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Anthony

Di sebuah desa kecil di Sulawesi Tenggara, seorang petani sagu bernama Aswin tengah menghadapi kenyataan pahit. Beberapa tahun terakhir, permintaan sagu sebagai pangan lokal menurun drastis, digantikan oleh konsumsi beras yang jauh lebih tinggi. Padahal, sagu merupakan sumber karbohidrat utama bagi masyarakat lokal dan lebih tahan terhadap perubahan iklim. Kekhawatiran Aswin mencerminkan dilema yang dihadapi banyak petani Indonesia: bagaimana mempertahankan keanekaragaman pangan di tengah dominasi satu komoditas, yakni beras? Sementara itu, di sisi lain, perubahan iklim semakin memperburuk ketahanan pangan, memaksa petani mengubah cara bertani mereka agar bisa bertahan.

Contoh kasus Aswin di atas bukanlah satu-satunya. Saat ini, Indonesia dihadapkan pada tantangan besar dalam menjaga ketahanan dan keanekaragaman pangan. Meski Indonesia merupakan negara agraris dengan potensi besar untuk menghasilkan beragam jenis pangan, kenyataan di lapangan menunjukkan adanya ketergantungan tinggi pada satu komoditas. Ketahanan pangan nasional masih didominasi oleh upaya menjaga stok beras, sementara sumber pangan lokal lainnya seperti sagu, jagung, dan umbi-umbian belum sepenuhnya terintegrasi dalam kebijakan nasional.

Tantangan Ketahanan dan Keanekaragaman Pangan Indonesia

Indonesia, dengan lebih dari 17.000 pulau dan ragam ekosistemnya, memiliki kekayaan pangan yang sangat beragam. Sagu di wilayah timur, jagung di daerah Nusa Tenggara, serta umbi-umbian di berbagai daerah, seharusnya menjadi kekuatan dalam menghadapi tantangan ketahanan pangan. Namun, ketergantungan yang tinggi terhadap beras menyebabkan potensi ini seolah terabaikan. Tidak hanya itu, perubahan iklim, degradasi lahan pertanian, dan pertumbuhan penduduk yang pesat menambah beratnya tantangan ketahanan pangan di masa depan.

Salah satu faktor yang menyebabkan ketergantungan terhadap satu komoditas adalah kebijakan pangan yang cenderung mengutamakan produksi beras sebagai tolok ukur keberhasilan. Meskipun penting, pendekatan ini telah menciptakan ketergantungan yang berlebihan terhadap padi sebagai sumber pangan utama, tanpa mempertimbangkan ketahanan pangan berbasis lokal yang lebih tahan terhadap perubahan iklim dan fluktuasi pasar global.

Di tengah tantangan ini, muncul kebutuhan mendesak untuk mencari solusi yang tidak hanya mengamankan ketersediaan pangan, tetapi juga memastikan keanekaragaman pangan tetap terjaga. Forum Bumi yang diselenggarakan oleh Yayasan KEHATI dan National Geographic Indonesia menjadi ajang penting untuk mengangkat isu ini, dengan melibatkan berbagai pihak yang peduli terhadap keberlanjutan pangan nasional.

Membangun Ketahanan Pangan Melalui Teknologi dan Kearifan Lokal

Melihat situasi ini, saya berpendapat bahwa masa depan ketahanan dan keanekaragaman pangan Indonesia harus berpijak pada dua pilar utama: pemanfaatan teknologi digital dalam pertanian dan pelestarian kearifan lokal dalam diversifikasi pangan. Kedua aspek ini dapat saling melengkapi untuk memastikan keberlanjutan pangan di masa depan.

Dalam acara Forum Bumi, Said Abdullah, Koordinator Dewan Pakar Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan, menyatakan bahwa, "Ketahanan pangan bukan hanya soal produksi, tetapi juga akses dan keadilan dalam distribusi pangan lokal yang beragam." Pernyataan ini menegaskan pentingnya diversifikasi pangan sebagai bagian dari strategi ketahanan pangan jangka panjang. Diversifikasi pangan tidak hanya memperkuat ketahanan pangan nasional, tetapi juga memastikan bahwa masyarakat di berbagai daerah dapat menikmati pangan yang sesuai dengan budaya dan kondisi lingkungan mereka.

Selain itu, teknologi digital harus dimanfaatkan untuk mendukung diversifikasi pangan ini. Internet of Things (IoT), blockchain, dan kecerdasan buatan (AI) dapat digunakan untuk memantau dan meningkatkan efisiensi pertanian, terutama di daerah-daerah terpencil yang selama ini kesulitan mengakses teknologi modern. Dengan menggunakan teknologi ini, petani bisa mendapatkan data real-time mengenai kondisi cuaca, kesuburan tanah, dan potensi serangan hama, sehingga dapat melakukan tindakan yang lebih cepat dan tepat.

Pada tahun 2025, saya memprediksi bahwa teknologi pertanian presisi berbasis IoT dan AI akan semakin terjangkau bagi petani di Indonesia. Teknologi ini memungkinkan pengelolaan lahan yang lebih efisien, sehingga dapat meningkatkan produktivitas tanpa merusak lingkungan. Sebagai contoh, penggunaan sensor tanah dan drone untuk irigasi pintar bisa menjadi solusi bagi daerah yang mengalami kekeringan atau keterbatasan sumber daya air.

Keanekaragaman pangan lokal juga harus dipromosikan dengan lebih serius. Pada tahun 2030, saya berharap Indonesia sudah memiliki kebijakan nasional yang secara eksplisit mendorong konsumsi pangan lokal yang beragam. Pemberian insentif bagi petani lokal dan industri makanan untuk menggunakan bahan pangan seperti sagu, jagung, dan umbi-umbian akan sangat membantu dalam menciptakan pasar yang stabil untuk produk-produk ini. Selain itu, pemerintah bisa memfasilitasi pendidikan dan kampanye kesadaran publik mengenai pentingnya diversifikasi pangan untuk kesehatan dan ketahanan pangan jangka panjang.

Dampak bagi Kesejahteraan Pangan Masyarakat Indonesia

Penerapan solusi-solusi di atas tidak hanya akan memperkuat ketahanan pangan nasional, tetapi juga berpotensi besar dalam meningkatkan kesejahteraan pangan bagi seluruh masyarakat Indonesia. Dengan diversifikasi pangan yang lebih baik, masyarakat tidak lagi bergantung pada satu sumber pangan utama, sehingga risiko kekurangan pangan akibat perubahan iklim atau gangguan pasokan beras dapat diminimalisir.

Lebih jauh lagi, diversifikasi pangan juga akan memberikan manfaat gizi yang lebih baik. Makanan berbasis sagu, jagung, dan umbi-umbian memiliki nilai gizi yang berbeda dari beras, dan dapat memberikan variasi nutrisi yang lebih seimbang. Dengan memperkenalkan kembali pangan lokal yang lebih bervariasi ke dalam pola makan sehari-hari, diharapkan angka malnutrisi di Indonesia bisa berkurang secara signifikan pada tahun 2035.

Kebijakan yang mendukung ketahanan pangan berbasis teknologi dan kearifan lokal juga akan menciptakan lapangan kerja baru di sektor pertanian. Penggunaan teknologi digital di pertanian membuka peluang kerja bagi generasi muda yang sebelumnya mungkin enggan bekerja di sektor ini. Pada tahun 2040, dengan adopsi teknologi yang lebih meluas, sektor pertanian bisa menjadi lebih menarik bagi anak muda, menciptakan generasi petani baru yang lebih cerdas dan adaptif terhadap tantangan global.

Menyongsong Masa Depan Ketahanan Pangan yang Lebih Beragam dan Berkelanjutan

Ketahanan dan keanekaragaman pangan Indonesia di masa depan akan sangat ditentukan oleh kemampuan kita untuk beradaptasi dengan tantangan global seperti perubahan iklim dan pertumbuhan populasi. Melalui pemanfaatan teknologi digital yang canggih dan pelestarian kearifan lokal dalam diversifikasi pangan, Indonesia dapat menciptakan sistem pangan yang tangguh, berkelanjutan, dan merata bagi seluruh lapisan masyarakat.

Forum Bumi yang diselenggarakan Yayasan KEHATI dan National Geographic Indonesia telah memberikan platform yang penting untuk membahas isu-isu ini. Dengan terus memajukan inovasi dalam teknologi pertanian dan mempromosikan diversifikasi pangan, saya optimis bahwa pada tahun 2045, Indonesia bisa menjadi negara yang tidak hanya mandiri secara pangan, tetapi juga mampu menyediakan kesejahteraan pangan yang merata bagi seluruh rakyatnya.

Untuk melengkapi pembahasan mengenai masa depan ketahanan dan keanekaragaman pangan Indonesia, penting untuk menegaskan bahwa perjalanan menuju ketahanan pangan yang berkelanjutan tidak hanya melibatkan inovasi teknologi dan pelestarian kearifan lokal, tetapi juga menuntut perubahan sistemik dalam kebijakan dan pola pikir masyarakat. Sebagai negara dengan kekayaan hayati yang luar biasa, Indonesia memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga keanekaragaman pangan yang selama ini menjadi bagian integral dari budaya lokal.

Pada tataran kebijakan, pemerintah perlu lebih progresif dalam menyusun kebijakan yang mendukung ketahanan pangan berbasis diversifikasi. Ini termasuk memberikan insentif bagi para petani yang menanam tanaman pangan non-beras, serta meningkatkan akses pasar bagi produk-produk lokal. Insentif tersebut bisa berupa subsidi benih, pupuk, dan teknologi, serta kemudahan dalam distribusi produk. Selain itu, dibutuhkan edukasi publik yang lebih masif mengenai pentingnya mengonsumsi pangan lokal dan manfaatnya bagi kesehatan serta ketahanan pangan jangka panjang.

Dari sisi masyarakat, perubahan pola pikir juga sangat krusial. Selama ini, persepsi bahwa beras adalah satu-satunya sumber karbohidrat utama harus diubah melalui kampanye nasional yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Ketika masyarakat semakin sadar akan pentingnya keberagaman pangan, maka permintaan terhadap produk-produk lokal seperti sagu, jagung, dan umbi-umbian akan meningkat. Ini akan menciptakan siklus yang menguntungkan, di mana peningkatan permintaan akan mendorong petani untuk menanam lebih banyak, yang pada akhirnya memperkuat ketahanan pangan nasional.

Ketahanan dan keanekaragaman pangan Indonesia bukanlah sekadar masalah teknis atau ekonomi. Ini adalah isu yang menyangkut masa depan kehidupan bangsa, kesehatan masyarakat, dan kelestarian lingkungan. Dengan langkah yang tepat, kita dapat memastikan bahwa Indonesia tidak hanya mampu bertahan, tetapi juga berkembang dalam menghadapi tantangan global yang akan datang. Masa depan ketahanan pangan Indonesia ada di tangan kita, dan sekarang adalah waktu yang tepat untuk mengambil tindakan nyata.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun