Pesan ini cukup masif dengan sebelaran dan flyer, bahkan sampai di media-media sosial, dan media mainstream seperti kompas.com.
Dalam ingatan saya perang sarung adalah permainan asyik dan menyenangkan. sepulang shalat tarawih atau shalat subuh berjamaah di masjid.
Perang sarung hanya namanya saja "perang", tetapi pada dasarnya justru meningkatkan kesolidan antar teman sebaya. Tanpa dendam, rame-rame hanya untuk seru-seruan. Suara riuh reda saling sahut dengan sabetan sarung yang sama sekali tidak ada tujuan untuk melukai dan menyakiti.
Tujuannya hanya keseruan kebersamaan, dan itu yang diingatÂ
Bahkan membuat simpul keras di ujung sarung pun setahuku tidak diperkenankan. Area pukulan juga di bagian badan ke bawah. Tidak boleh dengan sengaja menyerang ke wajah, yang dapat berisiko menyabet ke wajah.
Setahuku jika anak yang berani curang atau pun terlalu baper dan pendendam akan sulit diajak bermain perang sarung lagi.
Pergeseran Perang Sarung Menjadi Juvenile Delinquency
Namun fenomena perang sarung ternyata menjadi sangat berubah. Perang sarung hanya menjadi kedok untuk tindak kekerasan yang dilakukan bersama-sama oleh para remaja.
Kejadian ini tidak hanya terjadi di Palembang.Jika kita browsing, fenomena ini terjadi di banyak kota di Indonesia. Menjadi semacam Juvenile Delinquency, atau di Indonesia dikenal dengan kenakalan remaja.
Kenakalan remaja yang dimaksud di sini adalah penyimpangan pada norma-norma hukum pidana yang dilakukan remaja.
Dalam buku Kenakalan Remaja, Kartini Kartono mengungkapkan bahwa kenakalan remaja merupakan gejala patologis sosial pada remaja yang disebabkan oleh bentuk pengabaian sosial.