Tak Bisa Mudik, Silaturahmi Tetap Jalan

Larangan pemerintah untuk mudik memang membuat sedih. Apalagi buat yang hidup di perantauan. 

Demikian yang dirasakan keluarga kami yang tinnggal di perantauan. 

Tradisi sungkeman 2 tahun ini tidak dapat dilaksanakan. 

Diganti dengan zooming untuk tetap menjaga silaturahim. 

Rasanya memang berbeda, tidak mencium tangan orang tua dan saudara, berpelukan hangat dan mencium satu sama lain meluruhkan rasa rindu selama setahun tak jumpa. 

Tahun ini bahkan sudah dua tahun tak jumpa. 

Tetapi tentu kesehatan lebih utama. Wujud cinta untuk memutuskan mata rantai pandemi covid 19 agar tetap jumpa di tahun-tahun mendatang. 

Kami memang hanya mampu ber"kicau" tentang ini. Karena saya dan suami masih tetap dapat bertemu orang tua kami, meski dengan tetap menjalankan protokol kesehatan. 

Rasanya memang sedikit merepotkan setiap berkunjung lebih sering bersih-bersih dan jaga jarak, terlebih orang tua kami semuanya telah sepuh. 

Sering deg-degan saat anak-anak kami yang lebih cuek dalam protokol kesehatan bercengkrama dengan eyang dan nenek mereka. 

Berat memang menanggung rasa kangen, tetapi cengkreman ancaman penularan covid 19 dengan berbagai mutasinya jauh lebih mengerikan. 

Silaturahim itu sebuah rasa, paling penting tetap menjaganya terpupuk di dalam batin. Meski tidak dapat berjumpa secara fisik. 

Kita memang inginnya egois, toh orang tua sudah sepuh. Tetap doa dan ikhtiar bersama silaturahim ini bukan cuma hak kita. 

Tetapi hak semua umat manusia. 

Selamat hari raya di tengah pandemi. Jaga jarak tak berarti jaga hati.