"Mas, namakan ia Hilal ya, sekaligus doa agar hilal segera tampak", bisik Arini. "Hilal Akbar saja Uma"sahut perawat yang tengah memeriksa tensi Arini dengan senyum ramah.Â
"Aamiin"sahut Arini senyum
"Hilal telah tampak, Uma. Takbiran berkumandang dimana-mana malam ini"sahut perawat lalu berpamitan meninggalkan Arini untuk memeriksa pasien lain.
Pikiran Arini berkecamuk, entah apa yang akan ia sampaikan kepada Mamanya dan Liana, istri Haris. Memiliki anak lagi sesuatu yang paling dihalangi Mama dan Liana, Saudari iparnya itu. Mereka sangat mengkhawatirkan kesehatan reproduksinya. Liana menikah dengan Haris, adik kandung Arini beberapa tahun setelah pernikahan Arini dan Iqbal. Tetapi Liana  hanya memiliki satu putra, bersekolah di sekolah negeri. Dimaklumi karena memang Haris hanyalah buruh di sebuah pabrik. Mereka seperti tidak percaya pada rezeki dari maha pemurah saja, takut punya anak banyak. itulah yang diucapkan oleh Iqbal.Â
Hanya kepada Mama dan Liana saja ia berani sambat, tetapi Arini tak yakin mereka dapat menyiapkan  uang belasan juta dalam waktu singkat Arini. Arini sudah lama tidak menggunakan jasa asuransi dengan alasan riba. Bahkan keluarganya pun tidak terdaftar di BPJS. Iqbal tidak bersedia ttanpa pernah Arini mau berpanjang-panjang perdebatan.Â
Iqbal datang dari arah pintu dengan langkah gontai. Dengan lirih ia melantunkan takbir
"Hilal sudah tampak?", tanya Arini penuh harap.Â
Iqbal hanya mampu menatap Arini dengan terus melantunkan takbir dengan lirih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H