Pemberitaan mengenai kasus ZA, pelajar yang merebak perempat akhir tahun 2019 lalu. Pelajar yang membela diri dan teman wanitanya dari kejahatan pembegalan. Tikaman pisau kepada salah satu pembegal di dekat kebun tebu itu menyebabkan kematian sang pembegal.Â
Buat yang bingung apa sih? Bisa lihat di link Kronologi Pelajar Bunuh Begal, Hingga Didakwa Seumur HidupÂ
Beberapa hari lalu berita ini kembali mengemuka. Ternyata kasus AZ disidangkan dengan dakwaan berlapis. Primernya Pasal 340 KUHP subsider Pasal 338 KUHP, Pasal 351 Ayat 3 KUHP, demikian keterangan yang didapatkan di beberapa media yang dikutip dari pernyataan Penasihat Hukumnya.
Karena ZA belum berusia 18 tahun, sidang yang digelar adalah sidang peradilan anak yang mengacu pada UU Nomor 11/2012 tentang Sistem Peradilan Anak (UU SPAA) dimana sebelumnya berlaku UU No. 3/1997 tentang Peradilan Anak.
Pengertian anak dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia selama ini memang seringkali menjadi perdebata, terkait pada penafsiran usia dewasa di beberata peraturan perundang-undangan yang berbeda-beda mengenai usia tetapi memiliki limtatif yang sama, yakni jika telah menikah maka dianggap dewasa (bukan lagi dianggap anak-anak).
Tetapi dala UU SPAA ini secara tegas diatur dalam pasal 1 butir ke-3 menegaskan bahwa "Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana."
Meski telah menikah, jika seseorang melakukan perbuatan pidana pada usia sebelum 18 tahun maka diajukan dalam sidang peradilan anak, yang sangat berbeda perlakuannya dengan sidang peradilan pidana umum.
Peradilan pidana dilakukan tertutup, itu yang secara tegas diamanahkan dalam sistem hukum kita. Tetapi hal ini dibaca oleh masyarakat banyak sebagai hanya proses di muka sidangnya yang tertutup. Dengan perkembangan teknologi  yang tidak diikuti oleh literasi digital, kayaknya gak afdol dan tidak ikuti asas "No Pic, Hoax", maka dengan  mudahnya foto ZA beredar dimana-mana bahkan saat berfoto dengan beberapa petinggi negeri ini.
"Ini bentuk empati, Bikcik. Sebagai anak innocent, membela kehormatan seorang perempuan tentu harus dibela di tengah carut marutnya penegakan hukum negeri ini".
Pemberitaan makin viral kala media online, media sosial termasuk para influencer mengangkat derita pelajar ini. Kisah heroik berseliweran di media sosial, bahkan pengacara yang dielu-elukan hebat luar biasa negeri ini pun katanya turun tangan.
Duh... apa kabar penasihat hukumnya yang telah mendampinginya dari awal, saya yakin perjuangan mereka juga luar biasa hingga peradilan pun dapat dilakukanpada peradilan anak.
Status ZA yang sudah menikah menjadi celah mendudukan ia sebagai orang yang telah dewasa jika mengikuti peraturan perundang-undangan lain yang berlaku di Indonesia termasuk UU HAM. Tanpa pendampingan hukum menurut saya belum tentu ZA ditempatkan pada peradilan anak,