Mohon tunggu...
Kartika Kariono
Kartika Kariono Mohon Tunggu... Pengacara - Ibu Rumah Tangga

Mengalir mengikuti kata hati dan buah pikiran

Selanjutnya

Tutup

Nature

KPH, Cermin kecil Tata Kelola Kehutanan Indonesia

2 April 2019   15:24 Diperbarui: 2 April 2019   15:45 358
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hutan yang tersisa harus dijaga,
Hutan yang hancur, harus ditata biar rakyat Makmur
Masyarakat Sejahtera, Hutan pun Terjaga

Saat Forest Talk with Blogger Palembang  yang diadakan oleh Yayasan Dr. Sjahrir pada tanggal 23 Maret 2019 dengan tema "Menuju Kelola Hutan Lestari", Persolaan sektor kehutanan dengan laju deforestasinya memunculkan persoalan bukan hanya kepada bangsa Indonesia tetapi juga warga dunia, karena sektor hutan merupakan penyumbang terbesar dalam perubahan iklim saat ini. 

Saat itu,  peta di otak saya langsung teringat pada kalimat tersebut, sebuah kalimat yang sering menjadi pungkas  tulisan seorang rimbawan Sumatera Selatan, Bapak Edy Cahyono yang memimpin sebuah Kesatuan Pengelola Hutan (KPH), tepatnya KPH Lakitan Bukit Cogong (KPH Lakitan BC) yang wilayahnya  berada di 3  Kabupaten yakni  Musi Rawas, Musi Rawas Utara dan Kota Lubuk Linggau.

Saya memang tidak banyak mengenal banyak rimbawan untuk berdiskusi, tetapi saya meng-capture beliau sebagai seorang kepala KPH di menunjukkan jiwa korsa rimbawan yang mencintai hutan lestari, tetapi juga memiliki kemampuan manajerial yang tinggi dalam pengelolaan KPH yang dipimpinnya saat saya berjumpa dengan beliau di tahun 2014-2015. Aktifitas beliau bersama KPH Lakitan Bukit Cogong saya ikuti melalui instagramnya https://www.instagram.com/kphlakitan/.

KPH, meski tidak banyak yang mengetahui keberadaanya memiliki peran yang besar dalam tata kelola hutan di Indonesia,  termasuk dalam usaha-usaha dalam pengurangan kebakaran hutan dan lahan.  KPH yang merupakan unit pengelolaan hutan terkecil di tingkat tapak berperan nyata untuk melakukan pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan dan lahan.

Berangkat dari sebuah harapan bersama, baik pemerintah dan pihak-pihak yang terlibat dalam urusan kehutanan tetapi juga seluruh masyarakat baik yang langsung maupun tidak langsung merasakan manfaat hutan  untuk  memastikan kawasan hutan untuk tetap lestari dan bebas konflik,  menjadi dasar pembentukan UU No. 5/1967 tentang Pokok Kehutanan.

Salah satu upaya penyelamatan hutan dari kerusakan dan deforestasi dengan  diterbitkannya Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 200/Kpts./1991 yang mengatur pembentukan Kesatuan Pengusahaan Hutan Produksi yang sekaligus berfungsi sebagai kesatuan perencanaan pengusahaan hutan produksi.

Namun, dengan diterbitkannya  UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan  sebagai pengganti UU No.5/1967  mengubah peran Kesatuan Pengusahaan Hutan Produksi  menjadi Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH).

Pembentukan KPH  tidak hanya di kawasan hutan produksi tetapi meliputi seluruh kawasan dan fungsi hutan. sehingga KPH diharapkan agar KPH akan menjadi salah satu garda terdepan dalam penyelamatan hutan. 

Untuk mewujudkan pengelolaan hutan secara lestari, maka seluruh kawasan hutan Indonesia terbagi ke dalam KPH, daam  bentuk Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi (KPHK), Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) maupun Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP).

Pembentukan KPH-KPH  ini berdasarkan PP Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan Jo Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 Jo PP No. 3/2008 Tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan  menyebutkan bahwa dalam rangka pengelolaan hutan untuk memperoleh manfaat yang optimal dari hutan dan kawasan hutan bagi kesejahteraan masyarakat, maka pada prinsipnya semua hutan dan kawasan hutan harus dikelola dengan tetap memperhatikan sifat, karakteristik dan keutamaannya, serta tidak dibenarkan mengubah fungsi pokoknya yaitu fungsi konservasi, lindung dan produksi. Oleh karena itu dalam pengelolaan hutan perlu dijaga keseimbangan ketiga fungsi tersebut.

KPH ,merupakan kesatuan pengelolan hutan terkecil sesuai fungsi pokok dan peruntukannya yang dapat dikelola secara efisien dan lestari, memiliki tanggung jawabdalam  pelaksanaan tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan serta penyelenggaraan pengelolaan hutan. Dijelaskan oleh Kartodihardjo  (2011),  KPH berperan sebagai penyelenggara pengelolaan hutan di lapangan atau di tingkat tapak.  

KPH menjadi pusat informasi mengenai kekayaan alam sekaligus menata kawasan hutan menjadi bagian-bagian yang dapat dimanfaatkan oleh berbagai izin maupun dimanfaatkan melalui kegiatan yang direncanakan dan dijalankan sendiri.dan selajutnya  KPH menjadi garis depan untuk mewujudkan harmonisasi pemanfaatan hutan oleh berbagai pihak.

Dengan demikian, pembentukan KPH merupakan upaya untuk mewujudkan kondisi pemungkin dicapainya pengelolaan sumberdaya hutan secara berkelanjutan.  Oleh karena itu perlu diupayakan percepatan pembentukan KPH di tingkat tapak dengan kejelasan tujuan, wilayah kelola, institusi pengelola dan rencana pengelolaannya sehingga laju degradasi hutan dapat diperkecil.

Mengetahui bagaimana eksistensi sebuah KPH dapat menjadi media pembelajaran bagi kita bagaimana tata kelola hutan mulai dari kebijakan dalam peraturan perundang-undangan hingga pengelolaan di tingkat tapak. Mulai dari pembentukannya dengan sejarah panjang tersebut sudah terlihat bagaimana membingungkannya tata kelola sektor kehutanan di Indonesia dari satu sisi, yakni penegakan hukum yang terkait dengan peraturan perundang-undangan.

Secara kelembagaan, KPH Lakitan BC pada awalnya dibentuk KPH berupa UPT Dinas Kehutanan Kabupaten Musi Rawas yang dibentuk berdasarkan Peraturan Bupati Musi Rawas Nomor 27 tahun 2010 tanggal  4 Oktober 2010 dan sebagai dasar pembentukannya adalah Peraturan Pemerintah 41 tahun 2007.

Dengan terbitnya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 61 tahun 2010 yang mengatur Pedoman Organisasi dan Tata Kerja KPHL dan KPHP sehingga KPH Lakitan ditingkatkan kelembagaannya menjadi Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) setingkat kantor berdasarkan Peraturan Daerah Musi Rawas Nomor 1 tahun 2015 tanggal 27 Mei 2010.

Selanjutnya, dengan berlakunya UU No. 23 tahun 2014 pada akhir tahun 2016 yang mengubah  kewenangan bidang kehutanan, pengelolaan hutan melalui KPH menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi melalui Dinas Kehutanan. Sehingga kelembagaaan KPH Lakitan BC  ditetapkan melalui Peraturan Gubernur Nomor 41 tahun 2017 dibentuk UPTD KPH di wilayah Provinsi Sumatera Selatan sebanyak 14 UPTD KPH yang terdiri dari unit-unit KPH sehingga 24 Unit KPH yang telah ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK.76/Menhut-II/2010 

Pengaturan mengenai kelembagan ini  berefek pada persoalan yang krusial sekaligus menyebalkan yakni anggaran, karena dengan perubahan kewenangan tersebut tentu mengubah nomenklatur APBN bagi untuk  KPH-KPH yang ada di seluruh Indonesia.

Padahal  peran KPH sebagai pengelola hutan di tingkat tapak  begitu besar bahkan untuk perhutanan sosial pun menjadi tanggung jawab KPH, belum lagi persoalan lain yang begitu kompleks  kriminal kehutanan seperti perambahan liar dan illegal logging yang juga muncul akibat persoalan sosial akibat tata kelola hutan. 

Namun, membicarakan kelemahan sistem hukum ketatanegaraan  termasuk tata kelola hutan ini tentu tak akan habis dengan terus didiskusikan.

Terpantik dari materi diskusi Ibu Atiek Widayanti dari Tropenbos   yang mengajak kita kita masyarakat untuk mendukung pelestarian hutan yang ada dengan mendukung hasilhutan bukan kayu, pemanfaatan jasa ekosistem (hutan), mendukung ekonomi masyarakat tepi hutan, mendukung produksi/produk kayu berkelanjutan serta ibu Ir.Murni Titi Resdiana,MBA,  dari Kantor Utusan Khusus Presiden bidang Pengendalian Perubahan Iklim yang mengajak kita memanfatakan ekonomi kreatif  dalam forest talk yang lalu, membuat saya teringat untuk melihat bagaimana peran KPH Lakitan Coging  dalam usaha pengembangan bisnis berbasis masyarakat, dengan melibatkan kelompok-kelompok masyarakat juga melalui kerjasama antara KPH dengan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) sebagai ejawentah UU No.6/2014 tentang Desa yang diseleraskan dengan UU Kehutanan. 

Pengelolaan Hutan Lestari di KPH Lakitan Bukit Cogong dilakukan dengan  Pengembangan sistem Agroforestry.  Kawasan di KPH ini ditanami dengan  tanaman kehutanan  seperti   Bambang lanang (Michelia champaca), jelutung (Dyera lowii) dan pulai (Alstonia scholaris) sebagai tanamam pokok yang dikombinasikan dengan tanaman Multi Purposes Trees Species (MPTS) seperti  Duren bawor, nangka dan jengkol. 

Diantara tanaman pokok ini ditanam pula tanaman sela agroforestry seperti tanaman serai sebagai penghasil minyak atsiri berupa  Citronella oil . Minyak Atsisri produk KPH BC  memiliki merk dagang CiLa-fresh, ependekan dari CitronelLa yang juga diartikan Cinta Lestari (Lestari Ekologi, Lestari Sosial dan Lestari Ekonomi) atau bisa diartikan Cinta Lakitan. CiLa-fresh ini tersedia dalam bentuk


 dan  roll on


Selain itu,  KPH Lakitan BC juga mebuat pengolahan Kopi Selangit,yakni pengembangan produk kopi jenis robusta yang terlanjur ditanam di areal Hutan Produksi Terbatas (HPT) khususnya di Kecamatan Selangi Kabupaten Musi Rawas dengan Sistem Agroforestry dengan tanaman pokok karet. Ada juga usaha budidaya jamur tiram, madu hutan dan produk madu lainnya serta budidaya lebah madu, dengan nama Madu Hutan KaPeHa. Serta   peningkatan usaha masyarakat Perhutanan Sosial, KPH Lakitan BC telah memfasilitasi usaha produksi pengolahan asap cair.yang dimanfaatkan sebagai pengental getah karet sebagai pengawet makanan.

Salut dan kagum dengan bagaimana perjuangan rimbawan khususnya di KPH Lakitan BC dalam berperan aktif sebagai penyelenggaran pengolaan hutan lestari di tingkat tapak, dengan begitu banyaknya persoalan krusial dalam tata kelola kehutanan yang dihadapi bersama.

Lalu, bagaimana peran kita? ada langkah sederhana yang dapat kita lakukan, yakni menjadi konsumen cerdas dengan mengubah lifestyle menjadi eco friendly dengan menjadi konsumen produk-produk agroforestry  terutama  produk non kayu yaang memberdayakan ekonomi masyarakat sekitar hutan dari KPH Lakitan BC.  

Kita dapat memanfaatkan  asap cair sebagai pupuk organik dan pestissida alami untuk berbagai tanaman di rumah baik untuk tanaman hiasa maupun sayuran organik dengan pola faith (food always in the home), untuk perawatan tubuh dan kesehatan termasuk aroma teraphy kita dapat memanfaatkan produk minya atsiri, termasuk produk turunannya berupa sabun serewangi, dan paling menarik ketika komitmen untuk turut serta dalam keberlanjutan hutan adalah dengan pemberian souvenir pernikahan berupa minyak aroma therapy minyak atsiri hasil produksi agroforestry.  
Mungkin sebuah langkah kecil yang tampak tidak berarti jika sendiri, tetapi jika ini dilakukan oleh kita bersama, tentu akan memberi efek yang lebih besar bukan hanya menggerutu dengan kondisi cuaca ekstrim yang kita alami.

Salam Kompal

Sumber:
fmulakitan.wordpress.com

Kompal Kompak
Kompal Kompak

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun