Tanggal 30 Maret diperingati sebagai hari film nasional. Menjadi istimewa ketika jatuh di weekend. Pada awalnya saya berniat untuk merayakannya dengan menonton salah satu film nasional, sendirian. Karena seperti yang saya ceritakan sebelum-sebelumnya nya tidak semua film nasional adalah genre yang digemari anak dan suami saya.
Syukurlah Bimo memberi kabar kepada saya bahwa Palembang Movie Club akan mengadakan movie talk untuk merayakan film nasional.
Palembang Movie Club inilah yang memberi kesempatan saya menonton film Istirahat Kata-Kata karena tidak tayang di bioskop Palembang, hanya satu kali pemutaran atas inisiasi Palembang Movie Club.
Semakin gembira saat tahu film yang dipilih bukan film sembarangan, pada sore hari ditayangan "Focus on Wregas", 4 film Indie karya Wregas Bhanuteja Lemanting, Lembusura, Floating Chopin dan Prenjak. Serta film yang tahun lalu hingga kemarin tak sempat saya tonton, Aruna dan Lidahnya.
Saya tidak sendiri menikmati film ini, ada Kompal lain yang ikut Ubak Posma, Koh Deddy, Mbak Nita dan Yayan.
kompal yang sering saya ajak ngobrol tentang film, dan kami menyadari betul bahwa film ini akan terasa "membosankan" jika dinikmati sendiri.Saya akan sedikit membahas Focus on Wregas serta Aruna dan Lidahnya.
Yayan adalahSaya tidak akan membuat review, pertama karena saya sama sekali tidak mencari info lengkap mengenai film-film ini, kedua karena saya menikmati film ini sebagai me time saya memaknainya sangat subjektif, karena pengalaman yang saya dapat dalam film-film yang ditayangkan PMC malam itu sangat bersentuhan dengan pengalaman pribadi saya.
Saya juga tidak akan meranking film mana yang menjadi favorit atau memberi penilaian, karena sebagai sebuah karya seni selera sebuah film juga tergantung pada alam pikir, imajinasi, pengalaman akan rasa,karsa dan cipta yang tentu akan sulit dibatasi.Saya akan mengurutkannya berdasarkan penanyangannya.
1.Lemantun
Lemantun berjudul asli The "The Third Cupboard" membuat saya kaget ketika saya tahu dari diskusi di Movie Talk film ini dibuat dan dijadikan tugas akhir mahasiswa. Banyak yang mengintepretasikan bahwa lemari sebagai rahim ibu, tempat merasa paling aman.
Apalagi film ini dipertegas bahwa sang Ibu yang membagikan warisan pasca meninggal sang suami kepada anak-anaknya dipastikan membeli lemari setelah melahirkan. Tetapi dialog-dialog berbahasa Jawa antara kakak beradik itu memunculkan dilema tersendiri bagi penontonnya terutama untuk saya yang orangtuanya sudah sepuh, dilema dalam film ini begitu terasa luar biasa.
Salah satu tokoh ini, Mas Tri, anak ketiga (anak tengah) memandang lemaripenyimpan kenangan masa kecil sesungguhnya melalui lemantun dia di dapur, lemari terjelek tidak punya nilai estetika tetapi paling dekat dengan sang Ibu yang aktifitas terbanyak di dapur.
Kakak-kakak dan adik-adiknya adalah sukses besar di mata masyarakat dengan berbagai titelnya. Saya merasakan getir dalam film untuk warisan lemari saja mereka rela untuk kembali, jadi bukan demi ibu mereka. Bahkan ancaman "denda" untuk yang menitip lemari pada sang ibu membuat rasa yang berkecamuk bahkan untuk Ibupun kita perhirungan secara ekonomi.
Makin terasa menyedihkan ketika lemari-lemari yang menyimpan sejarah hidup melalui kenangan2 mereka serta susah payah mereka bawa hanya terjual di pasar loak. Entah mengapa otak saya langsung  Sama dengan nasib heritage Indonesia terlebih saat Tri, yang mungkin paling miskin dan tidak berhasil, pekerjaan hanya penjual bensin ketengan menjadi anak yang merawat sang ibu yang tiba-tiba jatuh sakit sesaat anak-anaknya membawa lemantun masing-masing.
2. Lembusura
Sedikit sayup-sayup ingatan saya akan kisah Lembusura saat saya kecil saat Mbah Panut, pendongen saya masa kecil yang sehari-hari sebagai pawang Jaran Kepang dan tukang urut langganan Bapak. Ia mendongeng  mengenai tanah jawa kepadaku sambil mengurut Bapak.
Gunung bukan hal yang mudah saya lihat, bahkan saya melihat gunung pun saat pesawat take off di Bandara Yogya beberapa tahun lalu. Lembusura merupakan film  eksperimental, bikin bingung apa maksudnya karena lebih diformat seperti behind the scene.
Dalam pandangan saya, tampaknya Wregas dan teman2 mengajak kita ke alam fikir dan kreatif mereka saat stuck karena hujan Abu Gunung Kelud, dikorelasikan dengan realitas antara mitos masyarakat jawa dengan agama mayoritas yang digambarkan dengan suara azan dan orang-orang berbondong ke Masjid. Islam sangat melarang percaya pada tahayul, termasuk Lembusura.
Pergulatan luar biasa dalam alam pikir dan rasa untuk orang-orang yang pernah mengalami kondisi demikian. Apalagi film ini dibuat sineas yang  berasal dari kalangan masyarakat pendidikan tentulah semakin memperkeruh pergulatan pikiran antara Kepercayaan, Sains dan Agama.
3. Floating Chopin
Sebuah kritik luar biasa akan pembangunan pariwisata Bali oleh para bule. Ya kita tahu wisata world class Indonesia yang dibangga2in di dunia itu, umumnya dikelola bule. Baik Bali maupun Bali-bali baru. Sehingga pasangan kekasih ini memilih berlibur di sebuah pantai di Yogya.
Saya senyum-senyum saat sang pacar nanya "bagaimana liburanmu" malah dijawab dengan foto kuburan. Menikmati wisara sama dengan menikmati film, soal minat dan pandangan tentu dapat berbeda2 seperti menikmati chopin juga yang seringkali terdengar di kotak musik saat memberi kado pada pacar.
Ah itu tidak ada di film ini hanya entah mengapa jika musik Chopin itu di otak saya terasosiasi dengan kotak musik. Btw, masih adakah sekarang yang memberi kotak musim kepada pacar?
4. Prenjak
Dalam masyarakat tertentu, suara prenjak berarti mengabarkan tamu jauh akan datang, rejeki sebuah silaturahim. Bahkan arah mata angin berkicaunya prenjak pun memiliki makn tertentu. Tetapi dapat juga bermakna sebagai kabar burung seperti "perempuan korek api" seputaran Malioboro.
Dalam diskusi movie talk saya agak geregetan ketika banyak yang mengcapture tema film ini sebagai "keburukan citra bangsa". Agak berbeda dalam tangakapan saya,film ini justru mengangkat isu paling universal poverty and property dalam keadilan gender. Seksis? Banget kalo yang lihat dari kacamata misogynist. Perlu sedikit mengalihkan sudut pandang. Relasi kuasa jenis kelamin dan uang adalah segalanya dalam masyarakat dunia tergambar dengan apik di film ini.
5. Aruna dan Lidahnya
Syukurlah PMC memberi voucher makan, jadi saat menikmati film ini tidak terlalu merasa lapar. Dari novelnya memang Aruna dan Lidahnya bikin lapar, apalagi buat saya pemuja makanan, makan enak adalah salah satu cara "me time" saya. Sempat sedih saat Palembang tidak terpilih sebagai lokasi film ini, hanya Surabaya, Pontianak dan Singkawang. Jadi saya tidak dapat membanggakan pempek dan gulo puan sebagai hasanah kuliner Sumsel seperti yang diceritakan di Novel-nya.
Untuk resep pempek dapat baca di sini, dan apa itu gulo puan dapat dibaca di sini Dari film ini, saya merasa begitu personal karena saat saya kecil Mbah suka membuatkan saya Rawon, sayangnya resepnya tidak sempat kami pelajari.
Menjadi menarik ketika mengangkat persahabatan, hubungan unik ini begitu tergambar. Karena saya memang punya sahabat aneh yang hanya muncul saat saya perlu dan Surabaya adalah salah satu kota tempat kami menikmati kuliner dan jalan kaki berdua as a friend.
Juga Pontianak, yang memiliki budaya yang tak jauh berbeda dengan Sumatera Selatan, budaya Rawa Gambut dengan akulturasi pada kuliner aneka kue lapisnya, pernah saya bahas di sini. Akting aktor dan aktrisnya tidak perlu diragukan, sangat detail termasuk blockingnya. Banyak hal yang terkesan lugu tetapi terasa jleb juga dalam beberapa pesan moral.
Saya merasa kadang ada kesulitan memahami film focus on Wregas ini karena subtittle terjemahan, yang memang menurut saya juga padanan katanya agak sulit untuk tepat menggambarkan dialog. Saya mencoba memahami film batu yang mengangkat filosofi masyarakat Jawa yang dari bahasa saja menurut saya ribet, sangat kaya dengan berbagai klasifikasinya dan sulit mencari padanan katanya baik dalam Bahasa Indonesia ataupun Bahasa Inggris, jadi perlu definisi untuk memahaminya. Apalagi budaya Jawa yang marah pun lebih banyak menyindir melalui kata-kata.
Pun pilihan kata inteprator saat dialog di Aruna dan Lidahnya memilih diksi yang paling halus. Seringkali memang bahasa Inggris dipilih untuk feel free mengungkapkan sarkas yang bagi masyarakat Indonesia tidak santun. Terima kasih PMC untuk kesempatan Movie Talk nya. Semangat terus mendukung perfilman Indonesia.
Selamat Hari Film Nasional.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H