Ah nasibku makan di sini, berani menyahuti obrolan mereka, kena marah. Jadi cucu durhaka.
Demikianlah sepotong kisah berbahasa salah satu dusun yang tak jauh dari Kota Palembang, beragam dialek dan intonasinya, bahkan masing-masing dusun yang hanya berjarak beberapa ratus meterpun beda dialek atau setidaknya beda intonasi, meski sampai hari ini saya masih cengengesan jika mendengar logat Dusun Ulak Kerbau, yang hanya selisih dua dusun dari Talang Balai, menunjukkan betapa kayanya ragam bahasa Sumatera Selatan, Bumi Swarna Dwipa, Batangari Sembilan.
Di dusun kami, masing-masing orang mendapat gelar dari orang tuanya, melekat dengan sebutan panggila  kekeluargaan dan biasanya gelar itu hanya disebut oleh kalangan keluarga terdekat 2 urutan ke samping dan dua generasi ke atas ataupun ke bawah. Anak pertama dipanggil So (dari kata Beso/Besar), Jika gemuk disebut gemok. Anak bungsu disebut ujue.
Khusus perempuan berkulit kuning dipanggil Neng, khusus.Laki-laki Tinggi disebut Anjang dan yang Pendek disebut Andak, berkulit lebih hitam sedikit daripada yang lain dipanggil Tam.
Anehnya jika seorang laki-laki dipanggil Tam beristri berkulit kuning langsat, si istri akan tetap dipanggil Nyai/Wak/Bebek Tam (pengucapannya tidak sama dengan Donal Bebek, di Dusun kami tidak diperkenankan menyebut bibi atau bibik kepada kerabat, kata bibik ditujukan kepada pembantu atau penjaga kebun), sehingga si istri tahu bahwa yang memanggil adalah kerabat dari suaminya. Di dusun kami, kemenakan disebut anak buah. Jadi jangan kaget jika orang Talang Balai punya anak buah banyak.
Salam kompal
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H