Mohon tunggu...
Kartika Kariono
Kartika Kariono Mohon Tunggu... Pengacara - Ibu Rumah Tangga

Mengalir mengikuti kata hati dan buah pikiran

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

[Komed] Dulu Angpao, Sekarang Pangsit Ikan

7 Februari 2019   15:20 Diperbarui: 8 Februari 2019   18:41 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pagoda Pulau Kemaro (Dok.Pribadi)

Masih belum hilang dari memori saya percakapan guru dengan teman saya beberapa dekade yang lalu, "Kenapa kamu tetap sekolah, bukannya seharusnya kamu merayakan lebaran, Taufik?". 

Kami biasa menyebut imlek atau sincia dengan sebutan lebaran cina.

Taufik, teman sekelas saya sewaktu SD, adalah warga etnis Tionghoa. Keluarga besarnya menganut aliran Kong Hu Cu, tetapi harus mengaku Budha jika ditanya apa agamanya. 

"Percuma saya di rumah, Bu. Papa masih jualan di toko sampe siang nanti. Tapi kata Papa jika Bu Guru dan teman-teman berkenan sanjo, kami persilahkan" jawabnya santai.

Masih teringat mata kami yang bulat kegirangan dengan undangan ini, terbayang sudah ang pao dan ragam manisan yang saat itu jarang kami rasakan. Keiistimewaan lebaran Cina pada ang pao dan panganan hasil industri. Demi memastikan kami yang mayoritas muslim tidak terkontaminasi makanan haram, biasanya jiron di sekitar kami yangt merayakan sin cia akan menyugukan makanan dan minuman produk pabrikan yang dianggap lebih terjamin kehalalannya.

Saat itu, di era 90-an, makanan dan minuman kaleng adalah kemewahan buat kami. Bahkan di saat idul fitri pun hanya beberapa rumah yang menyediakan dan jelas anak-anak tidak dalam prioritas.

Demikian pula dengan ang pao, semua yang kami kunjungi dapat dipastikan akan memberi kami ang pao. Dimana tradisi memberi uang saat lebaran idul fitri tidak dikenal di keluarga dan tetangga kami masa itu.

"Sin nien kuai le, kung si kung si ni." ucapan yang diajarkan kepada kami. Ha ha... tanpa merasa bersalah bahkan diakhiri dengan kaliman "Ang pao tuo tuo lai". Perayaan tahun baru imlek adalah perayaan kebahagian bersama.

Jika saya dulu bertanya pada Asuk mengapa ia tetap berdagang meski ia lebaran " biar banyak hoki " alasan yang dikemukakannya, setelah lebih dewasa saya baru memahami jika saat itu merayakan dengan sangat terbuka pun menjadi ketakutan tersendiri bagi mereka.

Tidak banyak tradisi masyarakat Tionghoa yang banyak saya pahami, kecuali cap go meh, ceng beng, lebaran bak cang. Bahkan saat saya menonton film kung fu yang mempertontonkan barongsai, Ama menjelaskan hal tersebut tidak dapat saya saksikan karena itu perlu ahli kung fu,jadi tidak semua orang dapat melakukan atraksi demikan. Itulah di Palembang tidak ada pertunjukan barongsai.

Ah... andai saya tahu jika waktu itu Ama tetangga saya itu bohong,apa susahnya langsung mengatakan bahwa pertunjukkan barongsai dilarang kala itu. Tidak semudah itu, Ama selalu kuatir menjelaskan apapun yang terkait dengan etnis Tionghoa, apalagi jika menjelaskan mengapa mereka harus punya 2 nama. Satu nama Indonesia dan satu lagi nama Cina.

Bahkan menyebut Tiong Hoa (merefer pada Cung Kuo) ataupun kata Cina memberi kegamangan tersendiri bagi saya. Ada beberapa teman yang sensitif disebut Cina tetapi ada yang santai saja. Intonasi mungkin sangat berpengaruh.

Di Palembang, 2 perayaan besar yang sangat dirasakan sejak dulu cap go meh di Pulau Kemaro yang dimulai dari Kelenteng 10 ulu dan Ceng Beng.

Perubahan drastis di tahun 2000-an, setelah Tahun Baru Imlek disahkan sebagai hari libur nasional. Banyak yang memastikan bahwa ini berarti Kong Hu Cu menjadi agama resmi di Indonesia. Ah... mungkin saya yang salah baca, saya hingga saat ini belum pernah membaca peraturan perundang-undangan yang menyebutkan agama resmi yang ada di Indonesia.

Jika ada yang menyebutkan UU No.1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama pasal 1 sebagai rujukan, hal tersebut hanya menjelaskan bahwa Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buda dan Kong Cu (Confius) adalah agama mayoritas yang dipeluk oleh penduduk Indonesia.

Bahkan satu bulan sebelum tahun baru imlek pun suasana imlek sudah sangat terasa, tidak kalah dengan idul fitri ataupun natal, penawaran promo di berbagai pusat perbelanjaan pun sangat marak. Bahkan hiasan lampion dan pernak-pernik imlek turut memeriahkan suasana penyambutan perayaan musim semi yang akan berpuncak pada hari ke-15 (Cap go meh).

Beberapa rumah makan terkemuka di Palembang pun sekarang menawarkan promo gala dinner, jika dulu makan malam keluarga Tionghoa berkumpul bersama di kerabat paling tua, sekarang sudah mulai bergeser ke restoran.Selain lebih mempermudah, sajian atraksi yang ciamik juga menjadi pertimbangan tersediri tampaknya. He he saya tidak ikutan acara keluarga, hanya mendengar cerita dari encim dekat rumah yang sibuk dengan persiapan pergi ke restoran untuk kumpul keluarga.

Apakah suasana imlek masih sehangat saat saya masih kecil?. Entahlah, beberapa teman yang saya kunjungi saat imlek saya justru memilih liburan ke luar negeri tahun ini memanfaatkan libur week end yang diperpanjang hingga hari selasa. Tetapi tidak sedikit teman yang mengingatkan saya untuk berkunjung ke rumahnya.

Sssst....sudah rahasia umum jika masakan pempek dan varian buatan warga keturunan itu sangat enak. Jadi sanjo saat imlek Saat ini adalah  berburu kuliner berupa pempek. Menu paling favorit adalah pangsit ikan (kulit pangsitnya berbahaan dasar pempek kecil berisi udang kecil) yang dihidangkan dengan kuah tekwan (terbayang rasa enaknya).  Dulu, belum banyak yang menjualnya, jadi dapat menikmati hidangan ini luar biasa. 

Meski saat ini sudah banyak yang menjual, beberapa mamanya teman punya resep khusus, sehingga pangsit ikan ini adalah menu favorit yang saya "buru" hingga hari ini di saat sanjo imlek.

Setiap tahun di Palembang biasa dikunjungi warga keturunan dari berbagaipenjuru Indonesia bahkan mancanegara setiap Cap Go Meh berlangsung. Mereka datang ke Palembang untuk beribadat di berbagai kelenteng sekaligus sanjo( mengunjungi) sanak keluarga di Palembang. Biasanya pula , puncak acara Cap Go Meh biasanya berlangsung di Pulau Kemaro dengan pesta Kembang Api.

Jika biasanya kita harus melewati jalur air menggunakan speed boat, khusus di perayaan ca go meh, akan disediakan jembatan sementara berupa jejeran kapal tongkang yang akan memberi pengalaman sensasi tersendiri saat berada di atasnya.

Selain cap go meh, tahun ini ada keistimewaan berupa festival Rajawali Festival, yang akan diselenggarakan pada tanggal 15 sampai 17 februari 2019 bertempat di sepanjang Jalan Rajawali, Palembang yang memang dikenal sebagai permukiman mayoritas warga keturunan Tionghoa.Acara ini akan dimeriahkan oleh festival UKM, Kuliner, Culture Run, dan yoga.

Tidak kalah seru akan ada dihadirkan pula Festival Buah Sumsel yang akan menyediakan banyak buah-buahan lokal Sumatera Selatan yang sedang panen raya saat acara berlangsung, Seperti Duren, Duku, Manggis dan Rambutan, juga festival band, dan pergelaran budaya dari 17 Kabupaten dan Kota di Sumatera Selatan serta 13 Paguyuban di Palembang. Sebagai puncak acara, akan ada Carnival Budaya pada tanggal 17 Februari 2019.

Yok, meriahkan tahun baru imlek ke Palembang.

Catatan:

Maafkan saya yang referensi bahasanya berantakan, antara bahasa mandarin dan hokkien, karena beberapa istilah memang seperti itu yang saya tahu. Salam hangat sehangat kuah pangsit ikan.

Dok. Komed
Dok. Komed

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun