Delia pun menghubungi Harni, tetangga sebelahnya untuk menjaga anak-anaknya selagi mereka pergi melayat.
"Biar aku yang bawa mobil" Delia memberi usul yang disetujui dengan anggukan pelan Adaro.Â
 Selama perjalanan Adaro tetap mengalirkan air matanya dengan sesekali  mengembuskan nafasnya kuat-kuat. Delia hanya diam merasakan duka yang  mendalam yang dirasakan oleh suaminya. "Aku tak menyangka ia memilih  bunih diri" suara Adaro memecah kesunyian.
 "Apakah sudah  dipastikan?"tanya Delia dengan suara yang begitu tenang dan memang itu  yang dibutuhkan Adaro saat ini, suara tenang Delia menenangkannya.
 "Tadi AKP Budianto telah mengkonfirmasi, ia dinyatakan tewas bunuh  diri" sahut Adaro. "ia menelan obat anti mabok perjalanan ditambah anti  alergi, kemudian memasukkan plastik  kresek menutup mukanya. Ia  kehilangan nyawanya karena gagal bernafas saat begitu lelap efek obat  itu" sambung Adaro dengan suara parau. "Ia menuliskan sebuah kalimat  dalam selembar kertas, aku tak menyangka hand lettering yang aku kira  dapat membantu mengobati traumanya adalah pamitnya ia" kembali Adaro  sesenggukan.
Delia hanya diam, ia ingin memahami  bagaimana  perasaan kehilangan sahabat sejati seperti yang dialaminya suaminya.  Rasti dan Adaro adalah sahabat saat kecil, yang baru
bertemu kembali beberapa bulan lalu di acara  reuni sekolah.Â
 "Anda Mama bertemu ia sebelumnya, kalian pasti cocok".  Delia menoleh  ke arah Adaro, "Syukurlah Tuhan melindungiku dari kedukaan karena tidak  mengenal dia sebelumnya"ucap Delia. "Maaf, bukan aku tidak mau merasakan  dukamu, Sayang. Tetapi kamu tahu..."Delia belum selesai menyelesaikan  kalimatnya, Adaro menggenggam tangannya "Iya Hunny, it's okay. Beban  hidupmu terlalu berat sejak kecelakaan itu. I feel you"ucap Adaro yang  kembali membuat suasana menjadi  hening.
 Sesampainya di rumah  duka Delia memandang peti mati yang ditutup oleh tile putih, sesosok  perempuan anggun dengan senyum manis tersungging di bibirnya. Bukan,  bukan karena polesan perias mayat yang sangat jago. Tetapi seolah memang  memancar dari diri Rasti.
Sebuah hand lettering terbingkai dengan indah "Ingin aku mati di pembaringan dalam pelukan yang terkasih".
########
Dua hari sebelumnya.
 "Sayang, kita memang jodoh, bagaimanapun kita dipisahkan kita tetap  bertemu"suara mesra dari perempuan cantik ketika bertemu Delia.
 Setelah terpisah selama 5 tahun, Rastiti akhirnya dapat menjumpai  perempuan yang paling ia cintai selama ini, perempuan yang telah  menanggung hidupnya saat ia menempuh pendidikan di negeri Paman Sam.  Ketika pelajar lain menggantungkan hidupnya dengan Sugar Daddy, Rastiti  pun demikian, tetapi ia dapat menolak disebut sebagai Sugar Baby, karena  ia hidup bersama seorang perempuan yang hanya terpaut usia 4 tahun  dengannya tetapi telah memiliki segalanya.
 "Bagaimana bisa kamu  mau melakukannya dengan Adaro?" ucap Rastiti manja. "Panjang ceritanya,  sudahlah kita rayakan saja pertemuan kita"ucap Delia sambil memeluk  mesra dan bergumul dengan Rasti, menumpahkan segala kerinduan yang  selama ini ia pendam.