Tiap ramadan tiba, pasar kuliner dadakan di berbagai penjuru Palembang selalu hadir. Orang-orang menyebutnya sebagai pasar bedug.
Baik di seberang ulu maupun seberang ilir. Ada yang memang disiapkan kumpulan lapak seperti yang ada di kawasan pasar satelit sako, Rumah Sakit Muhammad  Husin atau lorong basah.
Ada juga yang memanfaatkan pinggir jalan yang ramai untuk membuka lapak dadakan menjadi pasar kaget.
Banyak sekali ibu rumah tangga baik yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga murni atau yang berperan di masyarakat di luar ranah domestik.
Kadang juga ada yang sekedar iseng buat ngabuburit, sekalian cuci mata melihat berbagai macam makanan yang ada di Palembang.
Untuk menu khusus,sepertinya tidak ada yang istimewa di jual di lapak-lapak ini.
Semua dapat ditemukan di sepanjang tahun. Hanya saja di pasar bedug penjualnya beragam dan lebih komplit di satu tempat. Baik yang memang sehari-hari profesi sebagai pedagang kuliner atau memang hanya memanfaatkan kesempatan untuk meraih keuntungan dengan berdagang setahun sekali ini.
Saya termasuk orang yang sangat jarang pergi ke pasar bedug. Selain alasan ekonomi, karena jalan-jalan ngabuburit ke pasar bedug aryinya menggeser anggaran dan seringkali tergoda untuk berbelanja makanan yang sebenarnya tidak terlalu diperlukan.
Seringkali kondisi lapar juga menyebabkan lapar mata hingga apa saja terlihat enak.
Padahal seringkali makanan yang dibeli menjadi sia-sia. Karena itu di keluarga kecil kami, menu puasa tidak terlalu berubah dari keseharian. Hanya menggeser waktu makan saja.
Jika pun makan di luar untuk iftar bersama juga memilih hanya makan bertiga di tempat makan favorit saja.