"Romantis itu soal rasa, segala rasa yang terkait estetika, segala hal yang indah, Â bukan hanya pada cinta. Sungguh cinta hanya sebagian sebuah keindahan" begitulah kira-kira penjelasan seorang guru yang suka berfilsafat.
Entah dia benar atau tidak, saya tidak pernah memverifikasinya. Selama ini terendap dalam benak saya bahwa romantis itu soal percintaan, rangkaian kata indah, kiriman kartu dan coklat hingga hadiah terindah, ciuman dan pelukan hangat di tempat indah, atau menikmati kebersamaan di tempat impian hanya untuk meyakinkan bahwa ia memang tercipta untuk kita.
Meski jika ada keindahan lain yang melintas membuat kita sedikit melirik atau malah beralih hati.
"Aku selalu merindukan ramadan" ya..banyak yang mengucapkan itu. Setidaknya bertemunya dengam ramadan menjadi pengingat untuk bersyukur diberi umur panjang, berkesempatan melebur dosa dengan berbagai aktifitas ibadah di bulan ramadan yang dijanjikan berlipan ganda pahalanya.
Itu hanya sedikit alasan, jutaan alasan lain pun muncul pemicu rasa rindu akan hadirnya ramadan.
Meski banyak kajian yang menghadirkan alasan pentingnya puasa sebulan untuk kesehatan, yang memaksa diterimanya alasan berpuasa secara logika yang dibuktikan secara saintifik.
Tetapi umumnya menjalankannya atas dasar rasa, mulai dari rasa hanya malu dengan orang lain jika tidak menjalankan, rasa berdosa karna ini perintah dan takut akan ancaman azabNYA, sekedar menggugurkan  kewajiban, mengharap imbalan dari Maha Kuasa, hingga merasa ini kebutuhan sebagai wujud meyakinkan diri bahwa kita dalam lindungan Kasihnya.
Mulai dari teguran indah dalam Q.S. Al Baqarah  kepada yang beriman untuk menjalankan puasa sebagaimana orang-orang sebelumnya, sebagai wujud rasa taqwa.
Taqwa artinya menjadi orang yang menjalankan segala perintahNYA dan menjauhi segala larangannya, baik karena takut akan ancaman api neraka, mengharapkan imbalan surga atau malah ikhlas karena memang membutuhkannya, menyadari bahwa tugas manusia diciptakan hanya untuk bertaqwa kepadaNYA.
Ditegaskan pula dalam sebuah hadits "Berpuasalah untukKU".
Meyakinkan bahwa selaku makhluk-NYA, menahan sedikit keinginan akan nikmatnya makanan dan minuman beserta syahwat hanya karena sebuah niat untuk Allah semata.
Wujud cinta sesungguhnya, menaikkan derajat rasa cinta kepada Maha Pencipta, bahkan malu untuk meminta meski ia berfirman "Berdoalah kepadaku Niscaya akan kukabulkan", menjadikannya berserah, menghentikan mulut ini menerornya meminta mengabulkan segala keinginan, bahkan berani marah setelah segala kebutuhan dikabulkanNYA. Bahkan berani mengatas namakan Maha Kasih, untuk melaknat makhluknya.
Mengajaknya bersekutu untuk memusuhi semua yang kita benci.
Ketika rasa memiliki kebenaran Tuhan lebih besar dari mencintai kebenaran Tuhan pun tanpa merasa bersalah melupakan segala ucapan maha kasih "Nikmat mana lagi yang engkau dustakan" yang disebut berkali-kali dalam Q.S. Ar Rahman.
Ramadan IA hadirkan, sebagai sebuah bentuk kasihNYA yang sempurna.
Dan saya hanya mencapai sebuah konklusi, bahwa Nikmat Rahmat Sang Rahman adalah romantisme sesungguhnya, segalanya terangkai dalam sebuah kata yang disebut Ramadan yang dapat dimaknai "pelebur dosa".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H