Mohon tunggu...
Kartika Kariono
Kartika Kariono Mohon Tunggu... Pengacara - Ibu Rumah Tangga

Mengalir mengikuti kata hati dan buah pikiran

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Cerdas Literasi Menghadapi Disrupsi Teknologi

16 Maret 2018   23:10 Diperbarui: 17 Maret 2018   19:44 2130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pagi (16/3), harian Kompas menyajikan sebuah berita yang sangat menarik yang mengupas mengenai nilai sains dalam Uji PISA dengan Tajuk "Pendidikan Masih Berkutat di Bawah". 

Artikel ini pada intinya memberikan deskripsi mengenai hasil penilaian Program for International Student Asessment (PISA), yang memperlihatkan posisi Indonesia lebih randah bahkan dibandingkan dengan Vietnam.

Saya agak kaget ketika membaca ini, ada pertanyaan apakah sudah release lagi hasil penilaian PISA di awal tahun 2018?

Karena seingatku PISA ini adalah penilaian budaya literasi di 72 negara yang diselenggarakan oleh Organization For Economic Co-Operation And Development (OECD)/Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan, yang dilaksanakan setiap 3 tahun sekali.

Bagi pegiat HAM, terutama yang bergerak pada isu HAM dan Bisnis sudah sangat jamak mengenal OECD dan Bank Dunia dalam mekanisme dengan berbagai instrumen untuk mengajukan keberatan terhadap pelanggaran HAM dalam bisnis, tetapi saat ini kita tidak bicara soal itu.

Seingat saya report terakhir dilakukan di tahun 2016, hasil asessment 2015. Jadi ketika ada pemberitaan di 2018, timbul pertanyaan kok bisa sudah ada asessment kembali".

Ah...ternyata memang pemahaman dasar literasi data menjadi penting bagi pembaca, ternyata memang yang disajikan adalah data PISA 2015 dengan perbandingan tahun 2012 pada keterangannya.

Sepintas saya membaca analisis dengan melihat perbandingan pendapatan domestik bruto dengan hasil PISA.

dokumentasi pribadi
dokumentasi pribadi
Secara nyata membuktikan bahwa PDB yang tinggi tidak menjamin melek literasi yang lebih baik, hal ini terlihat Vietnam yang PDB-nya lebih rendah dari pada Indonesia skor PISA mengungguli Indonesia.

Pemunculan persoalan yang dibahas mengenai 20% APBN untuk pendidikan, dampak positifnya sertifikasi guru, mengkritisi kondisi lingkungan pembelajaran, SDM dalam seleksi guru dan akses ke pedalaman.

Selain itu, artikel ini juga menyajikan temuan data Bank Dunia bahwa 10 % anak kelas 2 SD di Indonesia belum dapat membaca.

Saya yang memang kurang menguasai statistik, merasa kebingungan ketika analisis artikel ini masih mempergunakan PDB sebagai indikator.

Padahal sepemahaman saya, saat ini untuk mengukur Human Development Index atau Indeks Pembangunan Manusia (IPM) saja telah mengubah indikatornya.

Jika pada metode lama menggunakan PDB per kapita diganti dengan Produk Nasional Bruto (PNB) per kapita, alasan perubahan indikator ini karena PNB lebih menggambarkan pendapatan masyarakat suatu wilayah.

Jadi membuat sebuah konklusi bahwa PDB tidak berbanding lurus pada kemampuan literasi agak membuat saya mengernyitkan kening, karena dalam pemahaman saya kemampuan literasi dan pendapatan sama-sama indikator untuk mengukur kesejahteraan melalui IPM.

Pengukuran kemampuan literasi
Terlepas dari sistem asessment PISA dengan pola yang katanya multiteks dan berbasis komputer, persoalan utama yang diangkat dalam artikel ini adalah kemampuan literasi anak bangsa. 

Seperti diketahui, bahwa kemampuan literasi itu bukan sekadar baca tulis dan hitung. Setidaknya ada 6 literasi dasar yang harus dikuasai setiap orang yakni.

  1. Literasi baca tulis,
  2. Literasi numerasi/angka/berhitung,
  3. Literasi science dasar,
  4. Literasi finansial (kemampuan berpenghasilan),
  5. Literasi digital,
  6. Literasi kewargaan.

Di lain sisi, dalam dunia pendidikan di Indonesia terutama pendidikan tinggi, isu disruptive technology tengah mengemuka. 

Disrupsi teknologi terlihat jelas dengan sebagian besar perusahaan menggunakan teknologi untuk menjual produk mereka secara online, yang telah mengubah kedudukan konsumen menjadi lebih aktif karena kemudahan teknologi secara online yang memutus rantai distribusi secara masif. 

Kekhawatiran besar ketika beberapa bidang pekerjaan akan tergantikan oleh teknologi berbasis online atau robotik atau bentuk kecerdasan buatan lainnya.

Sehingga penyiapan SDM yang mumpuni dalam menghadapi persoalan ini menjadi sangat penting.

Untuk itu, pendidikan tinggi diharapkan untuk mampu menghadapi revolusi industri generasi keempat ini melalui peningkatan kecerdasan literasi, yakni:

  1. Literasi data, kemampuan untuk membaca, analisis, dan menggunakan informasi (big data) di dunia digital;
  2. Literasi teknologi, memamahi cara kerja mesin (coding,dan pemahaman terhadap kecerdasan buatan/artificial intelegence, dan Engineering Principle)
  3. Literasi kemanusiaan (humanities, komunikasi dan desain) termasuk kemampuan kepemimpinan (leadership) dan bekerja dalam tim (teamwork), kelincahan dan dan kematangan budaya (culture agility) serta entrepreuner (termasuk social entrepreuner).

Sebuah tantangan besar dalam peningkatan literasi di Indonesia, diakui atau tidak spektrum revolusi Industri pada masyarakat Indonesia belum semuanya mencapai titik revolusi industri generasi 4.0, bahkan masih ada yang baru memasuki generasi 1.0. 

Generasi millenial sebagai digital native, yang akan menjalani disrupsi teknologi ini. Sehingga menjadi penting untuk lebih cerdas literasi. 

Arus informasi yang yang tinggal klik di ujung jari harus mampu dibaca dan dipahami dengan baik. 

Membaca itu bukan sekedar mengenal huruf demi huruf, kata per kata, frasa per frasa.

Tetapi lebih mengedepankan kemampuan mendalami isi bacaan, menjaga kefokusan terhadap materi, serta menalarkannya dengan mengembangkan ranah afektif, kognitif, serta psikomotorik.

Untuk mengasahnya, perlu dimulai dengan membiasakan untuk melek literasi sejak dini, yang memang perlu kerja sama semua pihak. 

Tidak dapat menumpukan kepada guru di sekolah tetapi dimulai dari rumah sebagai basis utama edukasi.

Hal ini penting, karena kemampuan literasi seseorang akan berbanding lurus pada kemampuan problem solving seseorang, yang tentu saja akan sangat berpengaruh pada tingkat kebahagiannya.

Persoalan lemahnya kemampuan literasi ini harus menjadi problem bersama, jadi kita perlu sama sama-sama tergerak untuk bergerak untuk terus tebar virus literasi. 

Terlebih kepada para akademisi yang memiliki beban untuk mempublikasikan penelitiannya dalam jurnal internasional terindeks scopus.

Meski berat, salah satu indikator tingkat literasi adalah jumlah publikasi ilmiah di dunia internasional dan suka tidak suka indikatornya adalah terindeks scopus.

Saya orang yang paling percaya bahwa literasi adalah pencegah korupsi, karena pecinta literasi sesungguhnya anti plagiasi, menjunjung tinggi nilai kejujuran dan menghargai manusia dan kemanusiaan.

Selamat malam Indonesia, cintai literasi agar tetap bahagia.

Dok Kompal
Dok Kompal

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun