Ia juga bercerita pengalamannya ketika buku ini hendak difilmkan, atau ditranslasi dalam bahasa Inggris yang menurutnya masih proses panjang karena menjaga ruh cerita yang terangkai dalam diksi dalam novelnya.
Ia tidak ingin cerita ini hanya menjual sensasi tetapi ingin nilai mengenai ibu terjaga baik dalam film maupun translasinya.
Seringkali makna ibu didangkalkan oleh orang-orang yang memang menyandang gelar "ibu", kaum perempuan. Siapapun, apapun dimanapun.
Bahkan "keributan" dikotomi peran perempuan di ranah  publik dan ranah domestik pun masih menjadi perdebatan tak berujung bahkan diantara perempuan itu sendiri. Perempuan kadang justru dibatasi piliha nya oleh stigmatisasi yang dibuat perempuan itu sendiri.
Ketika perempuan berusaha berani menyuarakan suaranya sendiri langsung dianugerahi sebagai "feminis", yang terkadang dianggap menjadi sebuah "stigma" bagi kalangan tertentu yang mengatakan telah terjadi "perang paradigma".
Padahal jika mempelajari soal perempuan saja menjadi sulit ketika terkait epistemologi. Karena menyikapi suatu kondisi pun akan berbeda-beda jika yang berbicara dari aliran Feminisme Liberal, Feminisme Radikal (Marxis) , Feminisme Kultural atau post feminisme.
Bahkan meme soal betapa maha benarnya perempuan padahal ada lirik lagu yang mengatakan "karena wanita ingin dimengerti".
Bahkan mencengangkan ketika pensematan kata ibu pun menjadi perdebatan di sana-sini. Saling klaim atau juga saling meniadakan.
Padahal apapun itu setiap perempuan adalah ibu bagi manusia lain. Jika bukan ibu biologis, bisa jadi ibu sosiologis atau ibu ideologis. Perjuangan kita bisa jadi di ranah yang berbeda-beda, tetapi kita punya musuh bersama.....ketidakdilan.Â
Selamat hari perempuan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H