"Bisa diam nggak sih? Bawel amat", sering kita mendengar hal seperti itu?, Â atau justru ucapan seperti itu muncul dalam benak kita sendiri?, diam seringkali dipandang hal yang lebih baik, setidaknya tidak menambah beban orang lain yang telah banyak persoalan yang sedang mereka hadapi, terkadang juga menjadi pribadi yang cukup menyikapi diam saja terhadap berbagai persoalan yang muncul juga lebih menenangkan.Â
Apalagi seringkali media sosial seringkali menjadi "penggorengan" berita yang begitu mudah disebarkan hanya dengan mengandalkan jempol yang sekali klik. Jadi terkadang diam menjadi pilihan terbaik yang mendorong kita cenderung apatis terhadap apapun yang terjadi disekitar kita.
 Tidak sedikit berita menyesatkan merangsek dalam pikiran kita begitu mudah, juga orang-orang di sekitar kita. Membenamkannya menjadi sesuatu yang dianggap benar oleh masyarakat kita, hal ini juga terjadi pada persoalan penyebaran HIV-AIDS di dunia termasuk di Indonesia.
Pada zaman dahulu, HIV-AIDS dipandang penyakit "kutukan " dari Tuhan, penyakit bagi para pendosa. Apakah padangan demikian telah berubah, tampaknya sampai saat ini pun masih ada pandangan demikian. Bagaimana tidak, bahkan ketika ada  memperoleh sedikit "pencerahan" mengenai penularan HIV-AIDS, justru opini yang berkembang.
Bukankah hal biasa ketika kita mendapat pesan berantai melalui sosial media mengenai keinginan para ODHA untuk menyebarkan penyakitnya dengan berbagai cara, sebut saja dari terompet tahun baru, buah kalengan yang ditetesi darah mereka, modus melukai lalu memberi band-aid kepada yang terluka agar virus HIV-AIDS juga menular kepada mereka, memakai tusuk gigi lalu mengembalikannya ke tempat semula dan banyak lagi yang memberi cap bahwa dengan tertular HIV mereka berubah menjadi monster dan menginginkan semua manusia menjadi seperti mereka.
Sebuah stigma sebagai "manusia yang dikutuk Tuhan" pun akan disematkan kepada ODHA, jadi ada anggapan bahwa memfitnah "para terkutuk" bukanlah sebuah kejahatan. Â
Padahal mereka lupa bahwa penyebar fitnah justru yang sesungguhnya melupakan fitrahnya sebagai manusia, termasuk yang mendiamkan peredaran hoax ini tanpa berupaya mengklarifikasinya.Â
Hayo ada yang mau protes  "Kok yang diam saja  ikutan salah?".  Setidaknya ini menjadi sedikit pengakuan dosa saya yang hanya diam saja terhadap persoalan ini. Jadi saya ingin sharing mengenai kegulanahan saya mengenai dosa saya satu ini.
Pada Senin lalu ,tepatnya tanggal 5 Desember 2017 bertempat di Hotel Excelton Palembang, saya berkesempatan untuk menghadiri  di Workshop Blogger Kesehatan yang diselenggarakan Kementrian Kesehatan. Workshop ini merupakan bagian dari kegiatan Germas (Gerakan Masyarakat Hidup Sehat) dalam rangka menyambut hari AIDS sedunia yang biasanya dirayakan tanggal 1 Desember setiap tahunnya.
Salah satu sessi dalam workshop ini adalah testimoni dua orang ODHA. Beliau berdua adalah role model ODHA Kemenkes, Â Ayu Oktariani dan Antonio Blanco, mereka menceritakan bagaimana mereka menjalani kehidupan sebagai ODHA. Â Sebagai orang yang termasuk cuek dengan persoalan ini,saya tertegun ketika mendenger testimoni mereka.Â
Dari tampilan keduanya yang  energic dan segar, ditambah tampilan yang cantik dan ganteng tidak akan ada orang yang mengira mereka adalah ODHA, dan memang demikian, ODHA tidak dapat dideteksi hanya dari tampilan fisik sesorang . ODHA hanya dapat deteksi melalui tes HIV.Â
Mereka  pun menceritakan bagaimana latar belakang kehidupan mereka termasuk  penyebab mereka menjadi ODHA yang memang jauh  berbeda satu sama lain.Â
Satu pertanyaan yang sama  ditujukan kepada mereka "apa yang mereka rasakan ketika pertama kali mengetahui mereka positif HIV?". Jawaban mereka senada, mereka frustasi dan merasakan seperti akhir dunia, namun dengan berjalannya waktu mereka berjuang untuk survive, melalui terapi Antiretroviral (ARV) yang sangat disiplin minum obat setiap 12 jam.Â
Menurut mereka, mereka masih beruntung, karena keluarga mereka memberikan dukungan kepada mereka untuk berjuang penyembuhan penyakit mereka, karena di luar sana tidak sedikit ODHA dibuang oleh keluarga mereka. Karena itu mereka tidak hanya berbuat untuk diri sendiri, mereka menolong sesama ODHA serta mereka mengambil sebuah langkah besar yang sangat berani, menyuarakan hak-hak mereka sebagai manusia, hanya mereka ODHA. Â
Mereka tetap dapat beraktifitas bahkan berbisnis, juga berumah tangga. Mbak Ayu bahkan menikah dengan bukan ODHA dan sempat menjalani program memiliki anak , meski Tuhan berkehendak lain, belum menitipkan kepada Mbak Ayu dan pasangan karena gangguan paru-paru, tetapi dapat dipastikan bahwa si baby terbebas dari penularan HIV. Mas Antonio malah lebih keren lagi, ia pengantin baru menikah dengan istrinya tepat di tanggal 1 Desember 2017, di hari AIDS sedunia.
Bahkan sebagai ODHA tidak mau disebut sebagai penderita HIV/AIDS. Karena HIV/AIDS bukan sebuah penderitaan, dan HIV/AIDS tidak menghilangkan jati diri mereka sebagai manusia. Mereka hanya perlu bertahan dan melawan penyakit mereka dengan pengobatan.
Jadi ketika ada manusia lain yang memperlakukan mereka bukan sebagai manusia, memberi stigma buruk bahkan memfitnah, apakah dibenarkan  kita hanya diam?.
Persoalan HIV/AIDS saat ini menjadi persoalan yang cukup serius,  tercatat di kementrian kesehatan bahwa total kasus HIV di Indonesia s/d Maret 2017 sebanyak 242.699 kasus, artinya sekitar 40 ribuan kasus ditemukan per tahun atau lebih  kurang 110 kasus perhari. Â
Berdasarkan pola transmisinya 0,6 % bisex, 3,0 % Perinatal,0,3 % Transfusi, 10,5 % IDU, 13.5 % Tidak diketahui, 4,9 % homosex dan 67,8 % heterosex.Â
Dijelaskan lebih jauh oleh Dr. Endang  Budi Hastuti (Kasubdit HIV AIDS dan PIMS Kementrian Kesehatan) dalam acara temu blogger tersebut, bahwa Pemerintah berupaya keras untuk menanggulangi laju kasus HIV/AIDS dengan Kebijakan dan Strategi Pencegahan dan Pengendalain HIV AID dan PIM melalui Permenkes No.21 Tahun 2013 Tentang Penanggulangan HIV/AIDS dengan 3 Zero di Tahun 2030 (Zero new HIV Infection, Zero AIDS  related Death, Zero Discrimination)
Untuk mencapainya telah disusun strategi TOP 90-90-90 , T (Temukan: 90 % ODHA mengetahui Status HIVnya)  O(Obati, : 90 % ODHA yang tahu status  mendapat ARV), P( Pertahankan:, 90 % ODHA on ART mengalami supresi VL/Penekanan jumlah virus)
Lalu sebagai masyarakat, apa yang  bisa kita lakukan? Strategi jalur Cepat TOP adalah S-TOP, Suluh mengenai TOP dengan target 90% masyarakat paham HIV. KitaÂ
dapat memberikan upaya Suluh TOP dengan menyebarkan informasi yang benar mengenai HIV --AIDS. Mengapa? Karena percepatan TOP 90-90-90 akan terjadi jika stigma dan diskriminasi tehdaat ODHA telah menurun,
Langkah awal yang dapat dilakukan adalah berani untuk mengetahui mengenai HIV-AIDS sehingga kita  dapat bersikap asertif terhadap segala bentuk penyebaran hoax mengenai penularan HIV AIDS, membantu menganulir segala bentuk stigma dan diskriminasi terhadap ODHA, bahwa HIV-AIDS itu tidak menular hanya karena ciuman,pelukan, menggunakan WC bergantian,sentuhan, menggunakan alat makan bersama, gigitan serangga atau tinggal serumah.Â
Penularan HIV AIDS hanya terjadi  dalam kondisi tertentu karena cara penularannya yang sangat terbatas seperti hubungan seksual, berbagi jarum suntik, produk darah dan organ tubuh serta ibu haamil positif HIV ke bayinya. Â
Sehingga menjadi penting untuk mencegah HIV dengan cara :
- Tidak melakukan hubungan seksual berisiko seperti berganti-ganti pasangan
- Tidak menggunakan narkoba
- Mengikuti program pencegahan penularan HIV dari Ibu ke anak
- Skrining darah dan organ tubuh
Penting untuk diingat bahwa HIV hanya dapat dideteksi melalui tes HIV, jadi jika kita merasa berisiko tertular HIV, sebaiknya lakukan tes HIV secara sukarela, harus berani. Jika positif HIV dapat segara diobati, jangan lagi yang menganggap HIV sebagai penyakit mematikan yang tidak dapat disembuhkan , saat ini HIV dikatagorikan sebagai penyakit kronis/menahun, salayaknya diabetes dan darah tinggi kok.
Dengan perkembangan pengobatan terapi ARV, orang yang terinveksi virus ini bisa hidup lebih panjang dan produktif.Bahkan saat ini semua ODHA bisa memulai ARV. Jika pada masa lalu hanya ODHA tertentu (dengan CD4<350 dan beberaoa kritria lain yang bisa memulai ARV.Â
Penelitian klinis beberapa tahun terakhir menunjukan memulai ARV dini (tanpa memandang jumlah CD4( memiliki manfaat yang baik untuk kesehatan dan ketahanan hidup pasien. Di tahun 2018 , semua ODHA Indonesia dapat memulai ARV berapapun jumlah CD4nya.
Jadi, mulai saat ini jangan cuma diam beranilah untuk berbuat,karena tanpa sadar diamnya kita dapat merubah kita menjadi pembunuh diam-diam (secara tidak langsung), membiarkan masyarakat tetap dalam mindset-nya yang salah mengenai HIV-AIDS. Membiarkan yang berisiko tertular tetap dalam ketakutan untuk tes HIV, membiarkan ODHA tidak mengetahui ada akses terapi ARV, dan menjadi pembunuh karakter membiarkan stigma dan diskriminasi terhadap ODHA terus terjadi.
Jadi HIV itu untuk dipahami agar tahu pencegahannya, pun jika telah tertular  bukan  untuk ditakuti  karena sudah ada obatnya dan ODHA bukan untuk dimusuhi, tetapi untuk dibantu karena mereka pun ingin sehat dan tidak menginginkan semakin banyak jumlah ODHA di Indonesia.
Ayo berperan serta aktif melaksanakan S-TOP 90-90-90 karena #Sayaberanisayasehat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H