[caption caption="dok.pribadi"][/caption]Ketika masih banyak masyarakat yang mempertanyakan bagaimana perkembangan 12,7 juta hektar perhutanan sosial serta 9 Juta hektar lahan yang akan direforma agraria, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) secara aktif menemukan jawaban kejelasannya dengan melaksanakan Simposium Nasional Wilayah Kelola Rakyat dengan Tema: “Update Perkembangan dan Pandangan Lembaga Tentang agenda Pemerintah yang Berkaitan Dengan Rencana Distribusi Hak Kelola Rakyat Baik di dalam ataupun di Luar Kawasan”, Bertempat di Wisma Atlet Jakabaring Palembang, tepatnya di Main Dining Hall.
Sebuah rancangan simposium yang diharapkan dapat memberikan gambaran holistik mengenai wilayah kelola rakyat, maka dihadirkan narasumber dalam simposium tersebut adalah Ridho Sani dari Dirjen Penegakan Hukum KLHK, Agus Darmawan dari Direktorat Pengelolaan Ruang Laut KK, Hadi Daryanto dari Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan KLHK dan Nur Fauzi dari Kantor Kesekretariatan Presiden sebagai perwakilan pemerintah Pusat, Hadir pula dalam acara tersebut perwakilan Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan, Ishak Mekki , Wakil Gubernur Sumatera Selatan). Sebagai narasmber lain juga ada dari Perwakilan masyarakat yang memberikan Testimoni, Edi Saputra , Petani Desa Talang Nangka, Kabupaten Ogan Komering Ilir, juga dari beberapa Organisasi Masyarakat Sipil seperti Abetnego Tarigan, Direktur Eksekutif Nasional Walhi, Abdon Nababan dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara/AMAN, Dwi Puspa dari Solidaritas Perempuan, Riza Damanik dari Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia, Iwan Nurdin dari Konsersium Pembaruan Agraria, dan untuk memperkaya khasanah simposium ini juga terdapat narasumber dari Akademisi Dr. Mahdi , Akademisi Universitas Andalas. Sebagai moderator didapuk seorang Jurnalis dari Kompas Brigita Isworo.
Dalam pengantarnya, Abetnego menyatakan bahwa Wilayah Kelola Rakyat menjadi perhatian dan menjadi pertarungan karena masih banyak persoalan yang terjadi baik dari pengakuan, bagaimanana bentuk pengelolaan sampai pada banykanya konflik yang terjadi, masih dalam pengantarnya ia menambahkahkan bahwa Walhi mengapresiasi keputusan pemerintah untuk perhutanan sosial meski dari segi jumlah masih belum memenuhi keinginan kami. Karena itu , simposium ini disiapkan dari berbagai perspektif. Melalui simposium ini setidaknya ada 3 hal yang ingin mendapat jawaban, yakni pertama bagaimana menyelesaikan persoalan hak yang berkaitan dengan Wilayah Kelola Rakyat, kedua bagaimana penguasaan terhadap sumber-sumber penghidupan masyarakat, dan serta menjawab persoalan yang dihadapi oleh dunia secara bersama , yakni persoalan perubahan iklim, karena Walhi meyakini dengan kejelasan Wilayah Kelola Rakyat dan kelibatan masyarakat dalam hal ini, maka Wilayah Kelola Rakyat ini menjadi cara untuk menjawab perubahan iklim.
Sebuah pemaparan dari Wakil Gubernur Sumsel mengenai Wilayah Kelola Rakyat melalui data-data yang ditampilkan. Ada hal yang menarik di akhir pemaparannya beliau mengatakan bahwa Wilayah Kelola Rakyat ini telah menjadi kearifan lokal sebagaimana yang diwariskan oleh RASASTI TALANG TUWO 23/03-684M, Maklumat Sri Baginda Sri Jayanasa Serta “Kitab Simboer Tjahaja” ditulis RatuSinuhun isteri Pangeran Sido Ing Kenayan (1630—1642M). Sangatlah jelas bahwa dari dulu nenek moyang kita mengingatkan bawha betapa pentingnya menjalankan kelestarian lingkungan hidup. Dengan pemberlakukan Wilayah Kelola Rakyat ini memunculkan harapan bahwa ke depan Sektor kehutanan mampu menyokong perekonomian daerah dan nasional, Hutan mampu mendukung kelestarian lingkungan dan mengurangi terjadinya bencana serta sektor kehutanan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat pedesaan untuk konservasi hutan.
Dalam simposium ini dihadirkan pula Edi Saputra , Petani desa Talang Nangka yang memberikan testimoni mengenai WKR ini, betapa berat perjuangannya untuk merebut WKR,bahkan sampai menjadi korban kriminilalisasi. Keluhannya adalah ketika budaya sonor yang selalu dituding penyebab kebakaran hebat di Sumsel, padahal ini telah menjadi budaya dan sebelum adanya perkebunan yang menggunakan sistem kanalisasi, tidak pernah terjadi kekeringan dan kebakaran hutan sebesar yang dialami Sumsel seperti sekarang.
Ketika sessi Abdon Nababan, ia menjelaskan bahwa persoalan pada masyarakat adat dengan istilah wilayah adat berada di wilayah remang-remang sehingga mudah bagi pelaku kejahatan untuk berbuat maksiat, seperti korupsi. Bahwa belum ada data pengakuan secara legal dari pemerintah terhadap wilayah masyarakat adat. Bahkan Bang Abdon sempat mengatakan bahwa masyarakat adat itu hanya diakui ketika akan ada pemilu atau pilkada, ketika mencari gelar-gelar masyarakat adat, atau terlihat ketika mereka berkonflik menyuarakan suara mereka untuk dapat mengelola wilayah adat mereka. Bakan mereka rentan untuk menjadi korban kriminalisasi dimana ketika dilaporkan kepada Ibu menteri 166 korban kriminaliasi, sekarang malah bertambah menjadi 217 korban kriminalisasi. Ditambahkan Bang Abdon bahawa hal yang paling dikhawatirkan oleh Aman adanya 11 paket percepatan investasi, paketnya sudah berjalan, sedangkan paket untuk kepastian masyarakat adat dan petani belum ada, jika dilakukan upaya percepatan paket investasi ini berjalan, sedangkan masyarakat adat masih remang-remang makan akan habis energi untuk konflik.
Dalam simposisum ini, sebagai perwakilan Solidaritas Perempuan, Dewi Puspa memberikan rekomendasi terkait Wilayah Kelola Rakyat, yakni rekomendasi dari kami adalah pertama , dalam pengaturan dan penerapan wilayah kelola rakyat – menerapkan kebijakan yang melindungi akses dan kontrol perempuan atas pengelolaan sumber daya alam antara lain dengan mereview dan harmonisasi kebijakan terkait WKR agar berperspektif gender dengan memastikan pengakuan dan perlindungan hak perempuan atas tanah dan wilayah hidupnya, serta penguatan akses dan kontrol perempuan atas pengelolaan sumber daya alam, kedua Pengakuan dan penguatan wilayah kelola rakyat memastikan keterlibatan penuh perempuan dalam setiap tahapan, termasuk memperhatikan pengetahuan dan kearifan perempuan dalam pengelolaan SDA dan ketiga Alokasi untuk WKR prioritas di wilayah konflik agraria dengan memastikan penyelesaian konflik yang adil gender.
Sebagai perwakilan KNTI, Riza Damanik mengimbuhkan bahwa telah ada sederetan peraturan perundang-undangan yang mengakomodir kepentingan masyarakat pesisir dan pulau-pulau terpencil. Meski dalam implementasinya wajib untuk terus dikawal , apalagi kita masih dikepung oleh 3 kejahatan lingkungan lingkunga dan sosial dalam pengerusakan Sumber Daya dengan pola-pola solusi adaptasi yang palsu seperti yang dijalankan dalam proyek rekalamasi pantai di 40 titik di 17 propinsi, selanjutnya praktek pembangkangan per-UU-an oleh penguasa daerah, menjadi salah satu faktor hak-hak masyarakat di desa-desa di pesisir menjadi pusat-pusat ekploitasi SDA, perempuan-perempuannya terpinggirkan, kerusakan lingkunga ada di sana, orang pintarnya tidak tinggal di desa tetapi pergi ke kota, nilai tambahnya juga tidak tinggal di desa tetapi ikut pergi ke kota.
Bang Riza menyampaikan bahwa ada 3 hal yang dapat kita lakukan pengarusutamaan pemenuhan hak-hak warga, yakni Pertama alternatif itu harus terus disuarakan, rakyat bersama CSO tidak boleh berhenti menyuarakan hak-haknya di wilayahnya masing-masing, juga perlu zonasi wilayah pesisir, unuk meminimalisir konflik sebagaimana yang terjadi di darat, sudah banyak deep sea meaning, lokasi hutan yang kotor akan semakin luas di poros martrim, karena itu perlu konsolidasi atas ruang wialyah laut kita hal serupa akan terjadi, jika tidak maka rakyat hanya akan menjadi penonton. Kedua perlu membicarakan wilayah perairan tradisional, dan tidak dapat diganti atau dikompensasikan, dan ketiga menjamin kualitas perairan tetap sehat, karena kesejahtaran akan tercapai jika kualitas lingkungan bersih dan sehat, Lahan-lahan perikanan abadi harus dialokasikan karena konsumsi ikan masyarakat kita semakin tinggi, sekarang sudah mencapai 3 kg/kapita, jika tidak terlindungi kita bisa menjadi negara pengimpor ikan.
Bang Iwan Nurdin dari memberi pernyataan terkait wilayah kelola rakyat adalah Bagaimana mempertegas didahuilui dengan tatakuasa dan tata kelola, ketegasan bawha wilayah kelola rakyat adalah menyelesaikan koflik agaraia, memastikan hak-hak rakyat dipenuihi, memastikan keberlanjutan ekonomi rakyat yang terus bertumbuh dan menghilangkan ketidakadilan pada sosial, ekonomi dan politik yang suduh mengakar kuat di republik kita tercinta ini, kita akan semakin melihat bahwa wilayah kelola rakyat bukan semata-mata memperjuangkan bagian dari keadian sosial kita.
Dalam pemaparannya Ridho Sani yang disapa moderator dengan sebutan Bang Roy, menyatakah langkah yang diambil oleh dirjen gakum yakni Penguatan Komitmen Pemegang izin Usaha,Penguatan Jaringan Ahli Hukum dan Pengacara, Penguatan Kapasitas PPNS, Jaksa dan Hakim (Multidoor), Penguatan Jaringan Masyarakat Pemantau,Pemetaan Area Potensi Kejahatan LHK, Gugatan Perkara Perdata ,Selektif Operasi pemulihan kawasan hutan.Ditambahkan oleh Agus Darmawan bahwa KKP akan memperkuat struktur payung hukum, mempertahankannya, bahkan saat ini Ada Ada 6 eselon yang dikawal langsung peran ini dapat langsung masuk ke masyarakat dimana 80 % eseleon 1 pagunya harus sampai di masyarakat, dan itu dikontrol langsung Bu Menteri. Baik di awal tahun, pertangahan dan akhir tahun dan ini perubahan besar bagaimana menempatkan masyarakat hukum adat, lokal dan tradionoal sebagai bagian dari tata ruang kelautan.