[caption caption="sumber: ggrist.files.wordpress.com"][/caption]
Musrembang Provinsi Sumatera Selatan telah diselenggarakan di hari Rabu , tanggal 12 Maret 2016 yang lalu. Salah satu isu menarik yang juga dibahas oleh Umek Elly adalah wacana Menteri Pariwisata Menetapkan Kota Palembang sebagai Sport Tourism Nasional.
Sebuah ide hebat untuk peningkatan industri kreatif melalui Sport Tourism , salah satu prasyaratnya adalah ketersediaan sarana dan prasarana yang menunjangnya. Mengenai hal ini teah dibahas oleh Umek http://kompasiana.com/ellysuryani dengan gamblang.
Suatu yang menrik perhatian saya adalah mengenai kesediaan toilet bersih yang dikelola swasta. It’s a wow. Patut diakui, bahwa ketersediaan toilet bersih yang nyaman itu sangat sulit di Palembang saat ini. Bahkan hanya beberapa pusat perbelanjaan yang menyediakan toilet yang bersih, nyaman dan mudah ditemui.
Sempat saya obrolkan dengan anggota Kompal melalui WA di pagi rabu bahwa penyediaan peluang bagi entrepreneur untuk menyediakan toilet bersih yang hi tech dan eco friendly dan tentu dengan simbat sahut dengan gaya kelakar betok tentunya. Ah..ayo donk gabung di KOMPAL.
Wah mulai menghayal soal toilet demikian, bagaimana sebuah toilet publik yang ditunjang dengan teknologi tinggi, dimana higienitas menjadi harga mati, bayangkan jika toilet selalu steril dari berbagai kuman dengan tap air, pintu yang terbuka dan tertutup otomatis kayak yang pernah diberitakan di Jepang.
Eco friendly juga penting, karena sumber daya air semakin menipis dan anti penggunaan kertas tissue toilet. Bukankah ditunjang high tech sehingga penggunaan air dapat efisien namun tetap higienis, soal bagaimana ya itulah tantangan kretifitas anak bangsa.
Belum lagi pemanfaatan limbahnya untuk biogas atau penggunaan teknologi panel surya dan mikrohidro sebagai suplly tenaga untuk menjalankan operasional hightechnya. Juga tentu tempatnya yang aman, privasi terjaga namun tidak menjadi tempat terjadi kejahatan. Itu juga menjadi urusan hi tech dalam security servicenya. Ketersediaannya juga ada di berbagai tempat publik, termasuk taman kota. Dalam penataan bentuk juga harmonisasi etika dan estetika, karena idenya eco friendly.Toiletnya dihias dengan tanaman hijau yang tertata indah.
Ahh…lumayan selama menghayalkan soal toilet hi tech dan eco friendly tidak terasa sudah bersih saya sikat semua toilet di rumah saya yang memang tidak besar ini. Ah…hari kamis, bukan hari politik toilet Kakak Davie, soalnya membersihkan toilet itu ada 2 kemungkinan, hukuman atas ketidakkonsistenan dia terhadap janjinya atau kedua, salah satu cara merayu Bundanya untuk mengabulkan proposalnya “sekedar” jalan-jalan atau pergi makan di tempat tertentu, yang tentu saja menggeser beberapa budget Bunda-nya. Sayangnya itu biasanya terjadi di week end, jarang sekali terjadi di weekday seperti hari ini. Ah..sudahlah…curcol saya dibaca aja, nggak usah dihapa. Nggak masuk ujian atau challenges kok ^_^….
Politik toilet, wah…apakah istilah kata baru?. Tampaknya tidak juga, beberapa tahun yang lalu hal ini sempat menjadi berita dan diangkat di artikel mengenai kebiasaan masyarakat Mesir yang menyuarakannnya protesnya melalui coret cooretan di toilet umum.
Revolusi Toilet memang sangat significant, dulu menjadi pelengkap. Bahkan katanya dulu saja tidak setiap rumah punya, kalaupun ada berada di luar. Karena urusannya cuma buat buang sisa-sisa yang tidak diinginkan. Tetapi sekarang menjadi sesuatu yang penting, bahkan mungkin saja akan ada jurusan desain interior dan eksterior khusus toilet pada program studi Teknik Arsitektur. Karena Pembuatan toilet bukan mengendapankan fungsi tetapi estetika toilet di sebuah rumah tinggal pun menjadi perhatian. Karena jika dulu toilet cukup di sungai dan di luar rumah, justru sekarang berada di dalam kamar.
Sudah jamak bahwa banyak yang suka berlama-lama di toilet dengan alasan mencari inspirasi, Juga bisa jadi masih tergelak jika mengingat keributan perebutan penggunaan toilet di tempat kost.
Toilet juga menjadi perlambang tepa selira, bagaimana kita memastikan pengguna setelah kita tetap merasa nyaman menggunakannnya dengan memastikan bahwa toliet yang sudah kita pergunakan sudah masih bersih tanpa meningggalkan jejak-jejakkita. Apalagi jika toilet yang dipergunakan itu unisex, bagaimana kesantunan kita juga dipertaruhkan dengan memastikan mengetuk dulu pintu dan menunggu dengahn sopan bukan langsung di depan pintu toilet.
Dalam penilaian mutu suatu institusi pun bahkan toilet menjadi penilaian,pada klausa sarana dan prasarana. Bahkan sistem pembersihan, senarai (list), borang (form) sampai penanggung jawab kebersihan dan perawatan toilet juga diperhatikan.
Juga tingkat keamanan toilet juga menjadi perhatian, termasuk di sekolah-sekolah. Belum lekang di ingatan kita kejadian kejahatan di toilet, yang saya rasa semua dapat langsung mengerti kepada peristiwa apa tanpa saya menyebutnya.
Bahkan pembersih toilet pun menjaid pekerjaan bergengsi, meskipun dilaksanakan oleh outsourching, tetapi untuk melamarnya saja membutuhkan ijasah pendidiakn menengah, yang juga digaji tentu tidak dibawah UMR. Begitu hebatnya keberadaan toilet sekarang, bukan?
Sebuah kegembiraan, bahwa apa yang menajdi keresahan para Ibu ketika berada di area publik adalah kebingungan ketika hendak buang hajat. Jika saja memang ketersediaan ini ada menjadi persoalan baru juga akan ada pos belanja baru dalam budget , selain bayar parkir juga bayar toilet.
Karena lagi semangat Kartini, seorang teman bertanya apakah kebijakan ini juga salah satu bentuk kebijakan pro gender? Dengan garuk-garuk kepala langsung bilang , bisa jadi, karena memang perempuan,juga laki-laki tentunya akan lebih nyaman untuk buang hajat. Tidak lagi dilakukan dibalik semak atau pepohonan dan pinggir saluran air.
Kebijakan ini tentunya diambil sebagai keputusan politik, he..he.. jadi boleh disebut politik toilet juga bukan. Jika dulu tidak diperhatikan sekarang menjadi perhatian penting, ya itulah toilet sama dengan kebijakan soal sport tourism. Mengapa memaksa bicara venue, jika trotoar di Palembang ini saja tidak tersedia dengan layak.
Masih ingat betul saya betapa saya gembira jalan kaki dari Tunjungan ke Taman Bungkul karena trotoarnya yang lebar dan bersih serta pedestrian friendly,saat sya diberi kesempatan gratis mengunjungi kota Soerabaia. Ah…bahkan bukan rawonnya yang saya kangeni, ketika salah satu teman FB saya yang tinggal di Surabaya mengatakan ia walking working yang mengasah empatinya karana banyak yang ia lihat, saya iri. Karena agak kesulitan bagi saya yang tinggal di Palembang, bahakan di jalan Kampung pun hak pejalan kaki direnggut dengan pengguna kendaraan bermotor yang malah marah-marah ketika kami berjalan ketakutan di pinggir-pinggir got. Belum lagi kita bicara jalur sepeda.
Meski agak shock ketika dalam pemberitaan Menpar menyatakan bahwa harus ada upaya kreatif yang luar biasa untuk mewujudkan Pilot Project Sport Tourism ini, maklum karena saya masih agak “trauma” dengan pelibatan investasi terutama developer kakap seperti “Senin Harga Naik”.
Proyek LRT ini saja sempat membuat saya bertanya-tanya mengenai Ruang Terbuka Hijau di Palembang, apa kabarnya jika ini akan ditukargulingkan dengan investor. Bicara soal pertanahan akan lebih panjang lagi, dan maaf tampaknya saya perlu ke toilet sekarang.
[caption caption="Sumber: Kompal"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H