"Siap Mang Aen". Jawab saya.
Sebenarnya saya ingin mengobrol banyak tentang keseharian Mang Aen, namun beliau harus bergegas bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Akhirnya saya dengan setia menunggu Mang Aeng sembari melihat nya bercocok tanam. Dalam hening ku memandang aktifitas Mang Aen yang tak kenal lelah. Panas matahari yang menyengat kulit keriputnya, keringat yang menetes dari rambut nya hingga membasahi pipinya, sesekali beliau mengusap keringat di pipinya dengan memakai kain yang berada di lengan bajunya, tak menyurutkan cangkulan demi cangkulan beliau dalam mengolah tanah surga yang telah diberikan Tuhan kepada Negara kita Indonesia demi mengais rezeki untuk kehidupan keluarga Mang Aeng. Pak Tani memiliki berbagai faktor produksi sendiri termasuk lahan pertanian, cangkul dan lain-lain yang ia olah sendiri, namun hasilnya hanya cukup untuk kebutuhan hidup keluarganya yang sederhana. Kesederhanaanya mengilhami penulis dalam mensyukuri segala sesuatu yang kita miliki dan perjuangan nya menjadikan acuan penulis untuk selalu bekerja keras dalam keterbatasan yang kita miliki.
Akhirnya Mang Aen telah selesai bercocok tanam. Beliau menghampiriku untuk berteduh di sebuah pendopo di sekitar sawah. Tak lupa Mang Aen menawariku bekal yang ia bawa dari rumah, ikan asin, nasi dan sambal. Saya pun menolak karena jatah yang ia bawa hanya 1 sehingga saya khawatir kalau saya ikut memakannya akan mengurangi jatah makan siangnya. Namun Mang Aen tetap bersikeras untuk memakan nya bareng-bareng, ya sudahlah saya ikut memakannya walau hanya dikit saja. Walaupun serba kekurangan, Mang Aen tetap berbagi. Selesai kita makan berdua di dalam kesederhana'an, saya memulai perbincangan dengan Mang Aen.
"Mang, udah berkeluarga kh ?
"Sudah mas, anak saya 3 udah sekolah semua. Yang paling tua kelas 2 SMA". Jawab Mang Aen.
"Kalo mas udah bekeluarga belum" ? berbalik bertanya Mang Aen.
"Belum mang, masih single hehehe". Jawab ku sambil tertawa.
"Oiya mang, apakah cukup hasil dari bertani untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari istri dan anak-anak mang"?
"Alhamdulillah cukup mas, asalkan produk-produk beras impor tidak menguasai pasar-pasar disini, biasanya pada akhir tahun, produk dari luar khususnya Thailand yang banyak dijual di pasaran ini". Mang aen menjawab.
"Itu karena kelangkaan beras di daerah sini Mang Aen, maka dari itu pemerintah mengambil kebijakan impor beras agar harga stabil lagi karena kebutuhan akan beras di daerah sini tepenuhi". Saya mencoba memberi penjelasan kepada Mang Aen.
"Duh mas, aku heran kenapa sih pemerintah harus impor, kan bisa biaya untuk impor dialihkan ke teknologi, kalo gak cukup uang nya ditambahin lah anggarannya untuk teknologi pertanian. Mas pasti mengerti kan, hasil pertanian kita kalah dengan negara maju karena teknologinya, padahal negara kita lahan pertaniannya sangat lah luas". Ujar Mang Aen menggebu-gebu.