Pernah suatu ketika saya mengajar, saya memberikan pertanyaan yang harus dijawab oleh siswa dengan uraian kata-kata di secarik kertas. Rasa heran mungkin terlintas dalam benak mereka ketika itu. Bagaimana menuliskan penyelesaian dari persoalan matematika dalam bentuk kalimat? Memang di dalam buku teks, naskah soal ulangan semester, naskah soal ujian nasional, dan soal-soal matematika manapun, jawaban soal matematika selalu dalam bentuk angka. Pun jika soal yang diberikan bertipe uraian, penjelasannya juga dalam bentuk manipulasi aljabar yang sebagian besarnya adalah angka.
Kali ini saya tertarik untuk melihat kemampuan mereka menguraikan konsep matematika dalam bentuk kalimat. Akhirnya, setelah mereka menuliskannya dan saya amati satu-persatu, saya mendapati banyak dari mereka yang kesulitan menjelaskan konsep tersebut dengan baik. Sebagiannya bukan karena tidak paham konsep, namun karena kurang terampil menguraikan pendapatnya secara tertulis dengan jelas dan benar. Anehnya, ketika saya menanyakan secara lisan pertanyaan yang sama, mereka mampu mengutarakan pendapatnya dengan cukup baik. Saya tertegun. Muncul sebuah pertanyaan menggelitik. Jika mereka dapat menjelaskannya secara lisan, mengapa saya tak menemui penjelasan seperti itu di dalam tulisan-tulisan mereka?
Tak jarang saat kita ingin menuliskan sesuatu, kita malah mengalami kesulitan untuk mentransformasikan keinginan dan maksud kita ke dalam tulisan. Tulisan merupakan media komunikasi. Maka tulisan yang baik adalah tulisan yang dapat dengan mudah dimengerti oleh pembacanya dan pesan dari tulisan tersebut dapat tersampaikan dengan benar/tidak disalahpahami. Kejadian tersebut membuat saya menarik kesimpulan bahwa kemampuan komunikasi matematika beberapa siswa saya masih perlu ditingkatkan.
Alih-alih mengkritik, saya berujar kepada mereka bahwa saya memahami maksud dari tulisan-tulisan itu. Ya, saya memang memahami apa yang hendak mereka sampaikan walau dalam penulisannya masih kurang teratur dan kurang mewakili apa yang ingin disampaikan. Itu tidak lain karena saya seorang guru matematika. Namun sebaiknya dalam menulis, kita perlu tahu bahwa pembaca kita tidak semuanya paham matematika. Maka kita perlu menjelaskannya dengan detil, tidak ambigu, dan gamblang, agar orang yang sama sekali tidak bersinggungan dengan matematika dapat pula memahaminya. Kemampuan menulis dengan baik adalah bakat. Namun ia juga dapat muncul karena banyaknya latihan.
Untuk urusan peningkatan kemampuan menulis, sepertinya saya tak berlebihan. Pramoedya Ananta Toer berujar, Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian. Agaknya, Pramoedya benar. Zaman terbagi dua menjadi prasejarah dan sejarah. Keduanya dibedakan oleh ditemukannya tulisan. Kita tidak bisa mempelajari bagaimana kehidupan prasejarah dengan lengkap karena pada zaman tersebut tidak ditemukan bukti tertulis apapun. Maka menulis adalah hal yang penting.
Kepiawaian dalam menulis tidak hanya muncul dari banyak latihan, namun satu paket dengan itu, seseorang juga harus banyak membaca. Ya, membaca dan menulis ibarat gembok dengan anak kuncinya. Untuk membuat tulisan yang berisi, penulis perlu memiliki banyak referensi. Terutama dalam menulis nonfiksi, data yang diberikan harus akurat karena tulisan tersebut bisa saja dijadikan referensi lagi oleh penulis lainnya. Sayangnya, membaca sepertinya menjadi barang yang langka di negeri kita.
Pada tahun 2012, UNESCO mencatat indeks minat baca di Indonesia baru mencapai angka 0,001. Ini artinya, dari seribu orang Indonesia hanya ada satu orang yang suka membaca. Pada tahun 2000, International Education Achievement (IEA) menyimpulkan kualitas membaca anak-anak Indonesia menduduki peringkat ke 29 dari 31 negara yang diteliti di Asia, Afrika, Eropa, dan Amerika. Maka wajar jika kita sulit untuk menghasilkan tulisan-tulisan berkualitas.
Ada banyak media untuk belajar menulis. Salah satu di antaranya adalah melalui blog. Blog memberikan ruang khusus bagi kita untuk membagi ide-ide yang kita miliki kepada semua orang. Saya sudah bergabung dengan beberapa platform blog. Sebagian ada yang terlantar. Sebagian lagi ada yang saya hapus. Alasan mengapa itu semua terjadi adalah karena saya malas menulis. Alasan malas menulis adalah karena minimnya bahan bacaan. Ketika bergabung di sini—Kompasiana—, tiba-tiba semangat menulis itu bertunas lagi. Di sini saya seperti memiliki keluarga baru. Apalagi kemampuan menulis teman-teman kompasioner sepertinya sudah baik sebagaimana yang tampak dari kualitas tulisan-tulisan yang muncul di headline. Hal seperti ini menjadi pemicu bagi saya untuk kembali menulis dengan baik dan tentunya membaca sebanyak-banyaknya agar dapat membuat tulisan-tulisan yang baik pula.
Hal berikutnya yang dapat kita lakukan untuk menghasilkan tulisan yang baik dan berkualitas adalah dengan meminta orang lain untuk memberikan masukan dan kritiknya terhadap tulisan kita. Atau kita dapat mengikutsertakannya ke dalam event-event penulisan. Bila ada lomba, ikutkan saja. Setidaknya ini sebagai ajang untuk menguji sejauh mana kualitas tulisan kita. Jika menang, artinya tulisan kita sudah cukup baik. Jika tidak, kita dapat menjadikannya sebagai feedback sekaligus instrumen refleksi diri.
Di ulang tahunnya yang ke-7 yang tak lama lagi, ada harapan sederhana dari seorang keluarga baru kompasiana. Kita patut sedih dengan tingkat minat baca negara kita dan tentu kita semua ingin memperbaikinya. Untuk mengubah statistik itu, memulai dari diri sendiri adalah langkah awal yang baik. Dan, semoga kompasiana dapat menjadi sarana dalam meningkatkan produktivitas menulis dan membaca warga Indonesia.
Selamat ulang tahun, Kompasiana!
Â
Â
Â
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H