Mohon tunggu...
Karon Marantina Purba
Karon Marantina Purba Mohon Tunggu... Auditor - Profesional

Profesional yang berminat juga di bidang tulis menulis

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Suku Baduy, Mempertahankan Hidup dalam Kesederhanaan

4 Desember 2019   21:18 Diperbarui: 11 Desember 2019   21:51 742
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
KOMPAS.com/ANGGITA MUSLIMAH

Suku Baduy, suku yang sudah tidak asing lagi kita dengar. Suku Baduy  merupakan kelompok etnis masyarakat suku Banten di wilayah Kabupaten Lebak, Banten dan mereka merupakan salah satu suku yang mengisolasi diri mereka dari dunia luar. Selain itu mereka juga memiliki keyakinan tabu untuk didokumentasikan, khususnya penduduk wilayah Baduy Dalam.

Berawal dari ajakan dari teman yang biasa mengadakan travelling ke Baduy, saya merasa tertarik untuk ikut. Keinginan ini didasari karena seringnya mendengar cerita tentang suku yang mempertahankan kehidupan di pedalaman.

Ada satu kesan yang sepertinya yang terbersit dari orang orang bahwa daerah ini sedikit horror. Dan sepertinya ada kesan mistis, yang kalau salah salah kita bisa tidak pulang. Itu juga yang saya alami ketika pertama kali saya menyatakan bahwa saya akan ke Baduy. 

Hal pertama yang saya dapatkan adalah pernyataan dari teman teman kantor saya adalah, "Hati hati kamu. Jangan melanggar aturan, jangan sampai saya nggak ketemu kamu lagi" 

Ketika seorang teman yang lain juga mengetahui bahwa saya akan berkunjung, maka dia menyatakan kepada saya, hati hati jangan sampai tidak pulang, apalagi ditambah dengan kejadian kejadian yang sepertinya memang mistis.  

Perjalanan ini kami mulai dengan titik kumpul di Stasiun Tanah Abang. Perjalanan ini diadakan pada hari Sabtu sampai Minggu, pada pukul 07.30 WIB. 

Sarpin, berpose saat berada di Kampung Balingbing, Desa Kanekes, Lebak, Banten, Selasa (1/3/2016). Sarpin adalah potret orang Baduy yang membekali dirinya dengan kemampuan membaca dan menjadi tokoh masyarakat Baduy. (KOMPAS.com / KRISTIANTO PURNOMO)
Sarpin, berpose saat berada di Kampung Balingbing, Desa Kanekes, Lebak, Banten, Selasa (1/3/2016). Sarpin adalah potret orang Baduy yang membekali dirinya dengan kemampuan membaca dan menjadi tokoh masyarakat Baduy. (KOMPAS.com / KRISTIANTO PURNOMO)
Kereta dengan tujuan Rangkas Bitung berangkat pada pukul 07.50 WIB dan tiba di Rangkas Bitung pada pukul 09.50. Dan perjalanan dilanjutkan dengan mobil sampai ke desa Ciboleger sekitar 1.5 jam. Setelah itu kami makan siang. 

Dari desa Ciboleger kami kemudian berjalan selama 4 jam sampai ke desa Kanekes, kampung Cibeo Baduy dalam. Sekitar pukul 16.30 kami tiba di desa tersebut.

Pertama kali saya bertemu dengan Kang Herman, penduduk Baduy dalam di mana pemilik rumah di mana kami akan menginap, dan beberapa anak yang akan membawa ransel kami yang merasa tak kuat untuk membawa beban sambil berjalan dengan medan yang menurut saya cukup lumayan. 

Yang pasti mereka sangat bersahabat, ramah. Memang dari awal kami sudah diberitahu beberapa aturan yang harus dipatuhi. Beberapa aturan itu adalah sebagai berikut :

  • Mandi dengan tidak menggunakan sabun, atau sikat gigi tidak memakai odol
  • Tidak menggunakan hand phone selama berada di Baduy dalam.
  • Tidak boleh mengambil foto atau rekaman selama berada di Baduy dalam.
  • Tidak membawa gitar, atau bernyanyi selama di Baduy dalam.

Kehidupan di Baduy dalam memang menunjukkan kehidupan di zaman dulu, sederhana, tidak ada listrik, rumah terbuat dari anyaman bambu, dan atap rumbia atau ijuk, dan kayu yang memang dari alam. 

Tidak ada MCK, artinya kegiatan mandi, cuci, dan kakus, dilakukan di sungai. Jadi kita sebagai tamu atau pengunjung memang harus mengikuti cara hidup seperti itu.

Kecuali itu memang kita harus mempersiapkan stamina untuk bisa sampai ke lokasi tempat tinggal suku Baduy. Kita harus berjalan melewati hutan, dan tanjakan tanjakan yang pastinya membutuhkan stamina yang kuat.

Sedangkan kehidupan dari orang baduy sendiri memang hidup dari pertanian yang dikerjakan dengan cara tradisional. Jika sebidang tanah sudah dikelola, maka berikutnya akan pindah ke tempat lain lagi, karena tanah yang telah diusahai beberapa kali pasti kesuburannya sudah menjadi berkurang. Karena mereka mengelola tanah tanpa pupuk dan pestisida. 

Mereka juga menjual madu yang diambil dari hutan langsung, dan beberapa souvenir karena memang banyak yang berkunjung ke sana.

Orang Baduy juga membangun rumah dengan memakai kayu dan bambu yang diambil dari hutan, dan tidak ada yang memakai paku. Orang Baduy dalam juga tidak sekolah, tidak boleh naik kendaraan. 

Jadi ke manapun harus jalan kaki. Sejauh apapun itu. Dan tidak memakai alas kaki. Kalau makan mereka menggunakan daun. Dan sendok pun menggunakan sendok berbahan kayu atau batok kelapa.

Tidak boleh memotong ayam sembarangan, ada ritualnya untuk itu, dan biasanya karena ada acara tertentu.Itu selintas yang bisa saya ketahui dari bincang bincang dengan Kang Herman dan salah seorang temannya. 

Kehidupan orang Baduy memang kehidupan yang bergantung ke alam. Cangkir yang digunakan juga dari potongan bambu. Sendok dari bahan batok kelapa.

Walaupun kehidupan orang Baduy serba sederhana,  tapi mereka berpikir maju dengan cara sederhana juga. Mereka akan mengumpulkan padi di lumbung, untuk di hari tua. 

Ibarat jaminan hari tua bagi kita. Lumbung yang dapat menyimpan padi dalam waktu yang cukup lama. Buat persediaan jika sudah tidak mampu bekerja lagi.

Dan mereka akan menyediakan persediaan beras minimal 3 bulan ke depan, untuk menjaga sesuatu hal tidak sesuai dengan rencana. Ibarat dana darurat bagi kita.

Suku Baduy dalam juga menggunakan pakaian khas, hitam dan ikat kepala Putih. Mereka hanya bisa menggunakan 2 warna dalam berpakaian. Warna hitam dan warna putih. Cukup unik memang melihat ibu ibu dan para gadis yang ada di sungai dan di ladang mengunakan pakaian putih hitam. Seperti memakai seragam saja.

Ketika saya bertanya, bagaimana kalau sakit? Apakah tidak pernah ke rumah sakit? Menurut mereka belum pernah sakit yang berat. Sakit biasanya bisa diobati dengan ramuan ramuan tradisional saja. Benar benar sederhana bukan?

Begitulah sekilas pengalaman saya berkunjung ke suku Baduy dalam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun