Mohon tunggu...
Karon Marantina Purba
Karon Marantina Purba Mohon Tunggu... Auditor - Profesional

Profesional yang berminat juga di bidang tulis menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Persiapan Masa Tua

2 April 2019   13:49 Diperbarui: 2 Agustus 2019   05:19 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saya mendapat kiriman WA  dari teman kantor saya yang dalam beberapa waktu ini secara rutin membawa orangtuanya berobat. Kedua orangtuanya sedang sakit.  Begini isi WA nya, "Kar, saya merasa ngeri membayangkan masa tua saya seperti apa nantinya. Saya memperhatikan orang tua di sini tidak berdaya, keriput, di kursi roda dan masih banyak lagi"

Saya menimpalinya dengan satu kalimat yang  sangat bijak, " Jangan kuatir, kesusahan sehari cukuplah untuk sehari, Tuhan pasti menyertai sampai dengan masa tua kita.  "Saya kuatir, siapa nanti yang akan merawat saya di hari tua?" ujarnya. Dia  sampai saat ini masih single. Aku membalasnya dengan emoticon senyuman.

Lalu saya bertemu lagi dengan salah salah seorang teman, dia juga masih single. Dan dalam posisi kami yang masih single saat ini, dan pernah ada pada posisi merawat orang tua yang dalam keadaan sakit dan akhirnya wafat, memberikan topik pembicaraan bagi kami. Topik untuk memahami arti sebuah kehilangan dan  topik yang membicarakan, bagaimana nanti di hari tua. Tidak punya anak, dan tentu saja keluarga juga punya tanggung jawab masing masing. Ponakan? Sepertinya kita juga tidak bisa berharap banyak. Mereka juga punya kehidupan sendiri dan seandainya pun harus menjaga orang tua, bukankah dia akan prioritas dalam menjaga orangtuanya?  

Satu  ketika saya mendapatkan telepon dari seorang teman yang menanyakan adakah panti yang saya ketahui untuk menampung seorang ibu yang sudah tua dan kondisi mata yang sudah tidak mendukung untuk pekerjaannya sebagai penjahit, yang tinggal seorang diri. Dan saya pun bertanya, " Apakah dia tidak punya anak?" Punya anak tiri tapi tidak ada yang mau kalau dia tinggal bersama mereka" jawabnya. Terlepas dari apa yang menjadi masalah mereka, saya pun berusaha membantu mencarikan Panti Jompo, namun ternyata tidak semudah yang saya pikirkan. 

Panti Jompo, akan mengenakan biaya yang tidak bisa dibilang murah. Dan pada dasarnya menurut saya itu memang wajar mengingat biaya perawatan terhadap orang tua juga tidak bisa dibilang murah. Biaya makan yang layak, pemeliharaan tempat, pasti semua membutuhkan biaya. Dan satu hal, harus ada dua orang keluarga dekat yang menjadi penanggung jawabnya. Janda dan hanya punya anak tiri dan memiliki keterbatasan fisik untuk bisa survive. Hmmm...lagi lagi sebuah masalah dengan masa tua.

Namun ternyata pemikiran bagaimana nanti di hari tua ternyata  tidak saja hadir bagi  yang single atau janda tanpa anak, tetapi juga kepada yang menikah dan memiliki anak lengkap. Hal ini terungkap pada pembicaraan di sebuah WA group di mana teman teman  yang memiliki anak juga mulai memikirkan bagaimana nanti di hari tua ketika anak anak sudah memiliki keluarga masing masing dan bahkan bagi orang tua yang biasanya terbiasa mengurus anak anak terjadi syndrome empty nest. 

Dalam pembicaraa itu akhirnya berpikir menciptakan tempat yang memang menyenangkan di hari tua, tidak kesepian di rumah. Berpikir membuat tempat tinggal bersama untuk satu komunitas, di mana dimungkinkan akan mempunyai kegiatan bersama yang lebih sesuai satu dengan yang lainnya. Satu tempat yang nyaman di mana semua bisa berkumpul bersama, dan anak anak juga tidak terlalu merasa orang tua terbuang. Dan anak anak bisa berkunjung kapan saja, tanpa harus dibebani juga untuk merawat orangtua dan bisa melakukan apa yang menjadi panggilannya.

Dengan pengalaman pengalaman di atas akhirnya saya punya pemikiran mengenai pilihan bagaimana nanti kehidupan di hari tua seandainya memang Tuhan mengizinkan kita hidup sampai tua.

Salah satunya adalah tinggal di satu tempat yang memang layak semisal panti.  Dan tidak dipungkiri bahwa pasti hal ini membutuhkan biaya. Dan memang harus dipersiapkan dari sekarang. Saya berpikir mungkin lebih baik tinggal di panti jompo saja, menjaga  privasi dari anak anak, dan mereka  bebas melakukan apa yang mereka ingin lakukan. 

Bagi saya biarlah anak anak melakukan apa yang menjadi bagiannya tanpa direpotkan oleh kehadiran orang tua. Bukan berarti ini adalah cermin bahwa saya merasa direpotkan seandainya orangtua saya, ataupun orangtua suami saya seandainya saya menikah untuk tinggal bersama kami di hari tuanya.

Tinggal di Panti Jompo mungkin dianggap sebagai satu hal yang belum lazim bagi sekelompok orang, mengingat budaya timur di Indonesia yang membuat orangtua yang tinggal di Panti Jompo sepertinya adalah orang tua yang terbuang. Tidak diperhatikan oleh anak anaknya dan menjadi beban moral juga bagi si anak yg seolah olah tidak mau merawat orang tua.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun