Dari Blora ke Hati: Surat Cinta untuk Pramoedya
Oleh Karnita
"Dalam hidup kita, cuma satu yang kita punya, yaitu keberanian. Kalau tidak punya itu, lantas apa harga hidup kita ini?" – Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya yang terhormat,
Seratus tahun yang lalu, dunia ini dipenuhi oleh kehadiranmu yang membawa angin perubahan, meski kini jasadmu telah tiada, kata-kata yang kau tinggalkan terus berkelana, menyentuh jiwa-jiwa yang masih mencari makna dalam kehidupan ini. Aku menulis surat ini, bukan hanya untuk mengenang, tetapi untuk merayakan kehidupanmu yang abadi dalam setiap huruf yang tertulis. Sebuah perasaan yang tak terucapkan, sebuah kerinduan yang tak terhingga, menyelimuti setiap kata ini, seakan aku ingin meraih kembali sebuah api yang pernah menyala begitu terang, namun kini hanya bisa kurasakan melalui bayangan.
Pramoedya, setiap kali aku membuka halaman Cerita dari Blora, aku merasa seperti aku sedang berjalan dalam jejak-jejakmu. Setiap cerpen yang kau tulis bukan hanya sebuah cerita, tetapi sebuah perjalanan jiwa yang mengajakku untuk menyelami kedalaman perasaan, sejarah, dan kemanusiaan yang penuh dengan warna. Blora, tanah yang begitu kau cintai, tidak hanya menjadi latar belakang bagi kisah-kisahmu, tetapi menjadi napas yang menghidupi setiap kalimat. Aku merasa seolah tanah kelahiranmu itu berbicara padaku, setiap batu, setiap angin, setiap desiran kehidupan yang terwujud dalam tulisanmu. Seperti aku bisa mendengar suaramu, Pramoedya, berbicara langsung kepadaku, tanpa jarak, tanpa batas, hanya ada kehadiranmu yang nyata di setiap kata.
Pada cerpen Yang Sudah Hilang, aku seolah dipaksa untuk menatap kehilangan bukan hanya dalam bentuk yang terlihat, tetapi dalam hal-hal yang tak tampak, yang tersembunyi dalam relung hati. Kau menuliskan kehilangan sebagai sesuatu yang tak terucapkan, yang mungkin hanya bisa dirasakan, dipendam dalam kesunyian. Setiap kalimat adalah suara dari kedalaman hati yang mengatakan bahwa kehilangan adalah bagian dari kita—bukan hanya kehilangan orang yang kita cintai, tetapi juga bagian dari diri kita yang hilang seiring waktu, kenangan yang terhapus, mimpi yang terpendam. Aku merasa begitu dekat dengan setiap kata yang kau tulis, seperti menemukan bagian dari diriku yang hilang begitu lama, yang akhirnya terungkap lewat cerpenmu.
Kemudian, Yang Menyewakan Diri datang sebagai seruan yang menggema dalam batin. Aku teringat pada banyak kali dalam hidupku, saat dunia memaksaku memilih antara apa yang benar dan apa yang harus kulakukan untuk bertahan. Dalam setiap pergulatan itu, aku menemukan prinsip-prinsip yang terkoyak, harga diri yang terinjak. Kau mengajarkan aku melalui cerita itu bahwa meskipun hidup sering kali memaksa kita untuk berkompromi, ada sesuatu yang lebih penting dari sekadar bertahan: harga diri dan kemanusiaan yang harus tetap dijaga, meski dunia menuntut pengorbanan.
Dan di tengah cerita tentang Inem, aku melihat wajah perempuan-perempuan yang terperangkap dalam keheningan dunia. Perempuan muda itu, yang hidupnya dibelenggu oleh tradisi, membawaku pada renungan panjang tentang ketidakadilan yang mereka alami. Dengan setiap langkah Inem, aku merasakan betapa seringnya impian-impian perempuan dibungkam oleh suara-suara keras dari luar. Seperti kau ajarkan, Pramoedya, melalui cerpen ini, bahwa kebebasan adalah hak yang tak seharusnya dipertanyakan. Kebebasan untuk memilih, untuk mengejar cita-cita, dan untuk hidup dengan kebanggaan atas pilihan-pilihannya sendiri.
Pramoedya yang kukagumi,
Dalam Sunat, aku belajar tentang harapan yang sering kali terperangkap dalam realitas yang keras dan tak terduga. Seperti anak dalam cerita itu, kita sering kali berharap untuk diterima oleh dunia, namun kenyataannya justru mempertemukan kita dengan kekecewaan. Kau mengajarkan aku untuk melihat harapan bukan sebagai sesuatu yang hanya ada di masa depan, tetapi juga sebagai kekuatan yang harus kita jaga meski kenyataan tidak selalu memberikan ruang bagi impian kita.
Setiap kalimat dalam Kemudian Lahirlah Dia mengingatkan aku pada kekuatan perubahan yang bisa menghancurkan segalanya—bahkan hubungan yang paling dekat. Ketegangan sosial, perbedaan pandangan, bisa begitu cepat merusak dinamika yang telah kita bangun dalam hidup. Cerita itu adalah pengingat bagiku, Pramoedya, bahwa dalam hidup kita harus menjaga keharmonisan, belajar untuk menerima perbedaan, dan tak mudah terpecah belah oleh angin ketegangan yang datang tanpa diduga.
Namun, ada satu cerpen yang sangat menggugah jiwaku: Pelarian yang Tak Dicari. Dalam cerpen ini, aku melihat seorang wanita yang terjebak dalam pilihan-pilihan hidup yang tak mudah. Aku merasa bahwa begitu sering dalam hidup, kita dikelilingi oleh jalan-jalan yang tampaknya menawarkan kebebasan, namun sesungguhnya menyembunyikan beban yang lebih berat di ujungnya. Kau mengajarkan aku, dengan penuh kebijaksanaan, bahwa setiap langkah harus diambil dengan hati-hati, karena kita tak tahu kemana jalan itu akan membawa.
Dari Hidup yang Tak Diharapkan, aku belajar tentang ambisi yang sering kali membutakan kita dari apa yang sesungguhnya penting. Terkadang, kita terlalu terfokus pada tujuan besar yang ingin dicapai, namun lupa pada hal-hal yang seharusnya kita pelihara—keluarga, kedamaian batin, dan kehormatan. Cerpen itu mengingatkanku untuk terus menjaga keseimbangan, bahwa dalam mengejar cita-cita, kita tak boleh kehilangan diri kita sendiri dalam prosesnya.
Hadiah Kawin membawa aku pada kesadaran tentang betapa cepatnya takdir bisa berubah. Suatu waktu, kita merasa segalanya berjalan baik, namun sekejap mata, perbedaan prinsip bisa mengguncang hubungan yang kita anggap tak tergoyahkan. Kau mengajarkan aku, Pramoedya, bahwa hidup ini penuh dengan ketidakpastian, dan kadang yang kita anggap pasti, bisa berubah begitu saja hanya karena pilihan yang kita buat.
Dan dalam Anak Haram, aku merasa begitu terluka untuk setiap ketidakadilan yang dialami oleh Ahyat. Kau membuka mataku pada kenyataan betapa kita sering kali menilai seseorang berdasarkan latar belakang mereka, tanpa memberi kesempatan untuk mereka menunjukkan siapa diri mereka sebenarnya. Kau mengajarkan aku untuk tidak cepat menghakimi, dan untuk selalu memberi ruang bagi mereka yang terpinggirkan untuk menemukan cahaya dalam kegelapan yang mereka hadapi.
Pramoedya yang kurindukan,
Meskipun engkau telah pergi, setiap kata-katamu tetap hidup dalam setiap detak jantungku. Karya-karyamu bukan hanya sekadar cerita masa lalu, tetapi adalah hidup yang terus mengalir, mengajarkan kami untuk tidak pernah berhenti berjuang, untuk tidak takut melawan ketidakadilan, dan untuk terus mempertahankan kemanusiaan kita, meski dunia tidak selalu berpihak. Engkau telah meninggalkan warisan yang tak ternilai harganya, dan melalui setiap tulisannya, aku merasa terus berada dalam perjalanan yang tiada henti—sebuah perjalanan yang tidak hanya mengajakku untuk mengenang, tetapi juga untuk melanjutkan perjuanganmu.
Terima kasih, Pramoedya, atas setiap pelajaran yang kau tinggalkan. Semangatmu akan terus hidup dalam setiap langkah kami. Aku akan selalu mengenangmu, tidak hanya sebagai sastrawan besar, tetapi sebagai manusia yang telah memberi dunia sebuah pemahaman baru tentang keberanian, kemanusiaan, dan keteguhan hati. Semoga kau tenang di sana, dan semoga kami yang masih di sini bisa terus menghormati setiap jejak yang kau tinggalkan.
Dengan segala cinta dan penghormatan,
Seorang Pembaca yang Tak Pernah Lupa
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI