Bisakah Kita Menyentuh Hati Los Angeles Lewat Doa dan Bantuan Kemanusiaan?
Oleh Karnita
Los Angeles, kota yang dikenal dengan pesona alamnya yang memikat dan kilau gemerlap dunia hiburan, kini sedang menghadapi bencana yang menyayat hati. Kebakaran dahsyat yang melanda berbagai kawasan di kota ini—Palisades, Eaton, San Gabriel, Hurst, Lembah San Fernando, Kenneth, hingga Malibu—telah merenggut 27 nyawa, sebagaimana dilaporkan oleh Departemen Pemeriksa Medis (DME) pada Kamis, 16 Januari 2025. Sepuluh korban tewas berasal dari kebakaran di Palisades, sementara tujuh lainnya dari kawasan Eaton.
Kebakaran ini menghanguskan lebih dari 16.000 hektar wilayah, luasnya bahkan melebihi Paris dan Jakarta Selatan, dengan lebih dari 150.000 orang terpaksa mengungsi. Api yang terus menyala di beberapa titik menandakan bahwa upaya pemadaman masih berlanjut hingga kini. Angin Santa Ana yang kering dan suhu panas yang ekstrem menjadi faktor penyebab semakin sulitnya pengendalian api, yang semakin meluas, memperburuk situasi yang sudah sangat genting.
Bencana Alam dan Los Angeles
Los Angeles, dengan geografi yang rentan terhadap kebakaran dan bencana alam lainnya, kini tengah menghadapi tantangan terberat. Angin Santa Ana yang kuat dan kering, serta suhu panas yang ekstrem, menyulut api dengan sangat cepat. Kebakaran ini merusak segala yang ada di jalurnya—rumah-rumah, hutan-hutan, ladang-ladang, bahkan merenggut nyawa manusia. Kota yang selama ini kita kenal sebagai pusat kemewahan, kini harus menghadapi kenyataan pahit di tengah bencana besar.
Bencana alam ini mengingatkan kita bahwa tak ada yang kebal dari kehendak Tuhan. Tidak ada tempat yang sepenuhnya aman, tak peduli seberapa berkembang atau makmurnya sebuah kota. Los Angeles, dengan segala kemewahan yang dimilikinya, harus berhadapan dengan realitas bahwa bencana alam bisa meruntuhkan segala-galanya dalam sekejap.
Memisahkan Politik, Agama, dari Kemanusiaan
Meski kebakaran ini terjadi di kota yang kaya dan maju, kita tidak boleh melupakan bahwa di balik kemewahan Los Angeles, ada jutaan orang yang terhimpit oleh bencana ini. Mereka yang terpaksa mengungsi dan kehilangan tempat tinggal, mereka yang sedang berjuang untuk tetap hidup. Kini saatnya kita mengedepankan kemanusiaan, melepaskan segala kebencian atau kecaman terhadap kebijakan pemerintahan, dan memberi dukungan tanpa syarat.
Kita mungkin merasa marah, kecewa, atau bahkan muak dengan kebijakan luar negeri yang seringkali tidak berpihak pada perjuangan rakyat Palestina, atau dengan intervensi yang dilakukan oleh pemimpin negara adi daya yang kerap mengintimidasi negara-negara Muslim dan memperburuk ketegangan dunia. Perasaan ini sangat wajar, namun dalam menghadapi bencana kemanusiaan seperti kebakaran yang melanda Los Angeles, kita harus berusaha melepaskan diri dari sentimen politik. Dalam situasi ini, kemanusiaan adalah hal yang lebih utama. Rasa empati dan kepedulian kepada sesama harus lebih besar daripada rasa benci terhadap kebijakan mereka. Sebab, yang kita bantu adalah manusia, tanpa memandang latar belakang politik atau kebangsaan mereka. Inilah saatnya untuk melihat segala sesuatunya dengan hati yang lebih luas, demi kebaikan bersama.