Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru - Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Ketika Siswa Terkena Sanksi, Bisakah Orang Tua Tetap Bijak, Respek, dan Cari Solusi Bersama?

16 Januari 2025   05:13 Diperbarui: 16 Januari 2025   20:57 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika Siswa TerKena Sanksi di Sekolah, Bisakah Orang Tua Tetap Bijak, Respek, dan Cari Solusi Bersama?

Oleh Karnita

Kasus hukuman yang diterima oleh seorang siswa sekolah swasta di  Medan baru-baru ini, berinisial M, akibat terlambat membayar SPP dan dipaksa duduk di lantai selama pelajaran telah mencuri perhatian publik. Kejadian ini memunculkan berbagai reaksi dari masyarakat, mulai dari yang menganggap hukuman tersebut berlebihan hingga yang berpendapat bahwa tindakan tersebut merupakan langkah disiplin yang sah. Namun, laporan yang dilayangkan oleh ibu M, Kamelia, ke pihak kepolisian atas dugaan kekerasan terhadap anak membuka babak baru dalam kasus ini.

Dalam laporannya, Kamelia mengungkapkan bahwa anaknya merasa malu dan terhina karena diperlakukan demikian. Hukuman duduk di lantai ini diberikan oleh guru yang bernama Haryati, sebagai konsekuensi dari keterlambatan pembayaran SPP oleh M. Pada awalnya, tindakan ini mungkin dianggap sebagai upaya untuk mendidik dan memberi efek jera kepada siswa yang tidak memenuhi kewajiban administrasi. Namun, masalah muncul ketika metode hukuman ini dipandang tidak manusiawi dan merendahkan martabat siswa.

Polrestabes Medan pun turun tangan setelah laporan tersebut diterima. Kapolrestabes, Kombes Gidion Arif Setyawan, mengonfirmasi bahwa penyidik tengah mendalami kasus ini untuk mengetahui apakah ada unsur kekerasan yang melanggar hukum. Penyidikan ini menjadi penting karena menyangkut kesejahteraan dan hak-hak anak yang harus dilindungi. Selain itu, kasus ini juga menyoroti betapa pentingnya prosedur dan kebijakan sekolah dalam memberikan sanksi kepada siswa.

Dari sudut pandang pendidikan, tindakan Haryati mungkin dimotivasi oleh keinginan untuk menegakkan disiplin. Banyak yang percaya bahwa mendidik siswa tentang tanggung jawab finansial adalah bagian dari pendidikan yang harus diterima oleh mereka. Namun, pertanyaannya adalah, sejauh mana hukuman semacam ini dapat diterima tanpa melanggar hak asasi siswa sebagai individu yang berharga? Apakah ada cara yang lebih humanis dalam menangani masalah keterlambatan pembayaran SPP tanpa merendahkan martabat siswa?

Haryati sendiri dalam wawancaranya dengan media setempat mengungkapkan bahwa tujuannya tidak pernah untuk menyakiti atau menzalimi M. Menurutnya, hukuman duduk di lantai adalah bentuk disiplin yang lebih baik daripada mengusir M pulang karena rumahnya yang jauh. Haryati menyatakan bahwa ia sudah mempertimbangkan berbagai pilihan sebelum akhirnya memutuskan hukuman tersebut. Meskipun demikian, keputusan tersebut tetap memunculkan pertanyaan besar tentang bagaimana cara yang lebih tepat dan manusiawi untuk menangani masalah serupa.

Dalam konteks ini, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan. Pertama, sekolah dan guru seharusnya memiliki pedoman yang jelas tentang bagaimana memberikan sanksi atau hukuman yang sesuai dengan peraturan dan prinsip-prinsip pendidikan yang adil. Hukuman fisik atau tindakan yang dapat merendahkan martabat siswa seharusnya dihindari. Kedua, masalah keterlambatan pembayaran SPP seharusnya diselesaikan dengan cara yang lebih bijaksana, misalnya dengan pendekatan komunikasi yang baik antara sekolah dan orang tua.

Banyak yang berpendapat bahwa pendekatan yang lebih humanis dalam menangani masalah administratif, seperti keterlambatan pembayaran SPP, akan lebih efektif. Alih-alih memberikan hukuman yang memalukan, sekolah sebaiknya mencari cara yang lebih empatik, seperti memberikan kesempatan bagi siswa untuk menjelaskan kesulitan yang mereka hadapi atau bahkan mempertimbangkan program pembayaran angsuran. Dengan cara ini, siswa tetap merasa dihargai dan didorong untuk menyelesaikan kewajiban mereka tanpa merasa tertekan.

Selain itu, orang tua juga memiliki peran penting dalam hal ini. Kamelia, ibu dari M, merasa perlu untuk turun langsung ke sekolah untuk memastikan kebenaran cerita anaknya. Ini menunjukkan betapa pentingnya komunikasi yang terbuka antara sekolah dan orang tua dalam menyelesaikan masalah-masalah yang muncul. Ketika orang tua dan guru bekerja sama, masalah seperti ini bisa dihindari atau setidaknya ditangani dengan cara yang lebih baik.

Di sisi lain, masyarakat juga perlu mengedepankan empati dan pemahaman dalam menanggapi kasus semacam ini. Jangan hanya melihat dari sisi hukuman atau pelanggaran, tetapi juga dari sisi kemanusiaan dan bagaimana dampaknya terhadap psikologi siswa. Kasus seperti ini bisa menjadi bahan refleksi bagi kita semua tentang bagaimana pendidikan yang berkeadilan dan berperikemanusiaan seharusnya dijalankan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun